Aku duduk memeluk lutut di ujung kasur kumuh. Duduk dengan isakan tangis yang sedari tadi tak mampu terhenti, akibat meratapi nasib yang tak kunjung membaik. Tangisanku dengan jelas membuat ibu meringkuh bahuku, mencoba menenangkan. Tapi tak mempan.
Aku terus menangis, mengeluh dengan keadaan.
"Bu', aku nggak mau hidup begini. Malu!" Aku membenamkan wajahku di antara lutut yang kupeluk.
"Sabar, Nduk. Mau gimana lagi," jawab ibu pasrah.
Hidup di dunia, bagaikan malapetaka untukku. Jika aku tahu jalan hidupku akan seperti ini, lebih baik aku tak hidup sekalian. Mungkin begitu juga pemikiran orang jikalau hidupnya semakin berat dijalani.
Setelah lulus SMA, ibu tak melanjutkan pendidikanku dikarenakan terkendala oleh biaya.
Ayah, sudah meninggal sedari aku masih SMP. Kedua adikku tetap bersekolah dengan biaya seadanya. Bukannya lulus sekolah hidupku membaik, malah semakin buruk.
Ibu terlilit hutang, sehingga kami harus keluar dari rumah, dan beralih ke kontrakan kecil. Teramat kecil.
Sial memang.
Di saat teman-temanku yang lain tengah berkuliah.
Aku?