Jika biasanya menonton film bergenre horor, fantasi, atau animasi, maka pada 2019 ini saya mengawalinya dengan menonton film bergenre drama. Selama ini agak menghindari film drama untuk ditonton di bioskop, terutama yang berkisah seputar keluarga.
Saya orangnya super sensitif, jangankan melihat sesuatu yang menyedihkan, menyaksikan kebahagiaan saja bisa membuat terharu. Tepat, saya enggan mewek di biskop, karena harus jaim, tak bisa menangis secara totalitas. Berbeda saat menonton di depan laptop, mau mewek sampai sesenggukan, mah, bebas, tak bakal ada yang tahu. Hahaha.
Gencarnya promosi film Keluarga Cemara sejak tengah tahun lalu membuat saya penasaran, apakah film ini akan sebagus sinetron yang pernah menjadi favoritku belasan tahun lalu. Saat ada info Keluarga Cemara masuk deretan film yang akan diputar di festival tahunan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), saya langsung bertekad harus menontonnya.
Malangnya, saya belum berjodoh dengan keluarga Abah dan Emak. Selama JAFF berlangsung, saya justru berada di luar kota. Jadilah musti bersabar menanti film ini resmi diputar di bioskop pada Januari 2019.
Kemalangan memang tak dapat ditolak, begitu pun dengan keberuntungan. Sempat merencanakan akan menonton Keluarga Cemara pada akhir pekan lalu, saya malah dapat ajakan untuk nonton di hari pertama pemutaran, 3 Januari 2019. Siapa yang sanggup menolak?
Keinginan bernostalgia pada masa menjelang remaja menjadikan film Keluarga Cemara pengecualian untuk tidak ditonton di bioskop. Sekitar dua dekade lalu, serial Keluarga Cemara seolah menjadi potret paling tepat untuk menggambarkan kondisi keluargaku yang serba pas-pasan.
Melihat Euis serasa berkaca pada diri sendiri. Sama-sama sulung dari tiga bersaudara dengan dua adik perempun, sama-sama harus bersabar dan mengalah untuk tidak menuruti keingininan diri sendiri demi adik-adiknya serta menjaga perasaan orang tua, pun sama-sama membantu perjuangan kedua orang tua demi asap dapur tetap mengepul.
Banyak kesusahan keluarga saya di masa itu yang kalau dikenang atau dibicarakan kembali pada saat ini menjadi hal yang menggelikan. Pada babak kehidupan tersebut, sejauh ini bagi saya merupakan masa yang tersulit, tapi juga banyak mengajarkan berbagai hal baik, salah satunya selalu berpikir positif yang terus terbawa hingga sekarang.
Dari jalan ceritanya, film Keluarga Cemara versi milenial ini tentu saja jauh berbeda dengan versi 90an dulu. Banyak adegan disesuaikan dengan kondisi yang seringkali terjadi di masa kini. Ya, ya, di bagian awal juga sudah disebutkan kalau film besutan sutradara Yandy Laurens ini merupakan adaptasi novel karya Arswendo Atmowiloto.
Oh iya, novel Keluarga Cemara yang saya baca ketika sudah dewasa pun kisahnya tak kalah menyedihkan, lho, malah jauh lebih menguras air mata. Kembali ke filmnya lagi, meski dari alurnya jauh berbeda, tetapi kisah yang diangkat masih sesederhana dulu, tentang perjuangan sebuah keluarga dalam menciptakan bahagianya, bagaimanapun kondisi yang sedang dialami.
Kehidupan boleh di zaman modern, tetapi pola komunikasi dalam keluarga dan pembagian peran gender Abah dan Emak tetap dengan cara tradisional, di mana Abah sebagai penanggungjawab nafkah keluarga serta Emak sebagai ibu rumah tangga yang tetap melakukan tugas-tugas domestik.