Dalam dua hari terakhir ini begitu sering saya mendengar nama Y.B. Mangunwijaya atau yang lebih sering dipanggil dengan nama Romo Mangun. Pertama, kemarin pagi saat akan berangkat kerja, entah mengapa bapak dan tetangga saya tiba-tiba membicarakan tentang Romo Mangun, saat itu saya hanya membatin oww...Romo Mangun?? Yang kedua adalah tadi malam, ketika saya berkumpul dengan beberapa kompasianer asal Jogja. Salah satunya adalah Mas Gugun, saat itu dia beberapa kali menyebut nama Romo Mangun di tengah-tengah obrolan kami. Dan yang ketiga sekaligus terakhir adalah sore tadi, salah satu teman kantor saya bercerita pada teman kantor saya yang lain kalau dirinya baru saja menjadi penggemar Romo Mangun di halaman Facebook. Dalam hati saya berkata...lagi-lagi Romo Mangun. Beberapa kali saya mendengar nama Romo Mangun disebut membuat saya teringat 11 tahun yang lalu, tepatnya Februari 1999 saat saya masih duduk di kelas 2 SMP. Bulan ketika Romo Mangun meninggal, tanggal berapa tepatnya saya tak ingat. Lalu apa hubungannya dengan saya? Dulu saya bersekolah di SMP Negeri 2 Yogyakarta (Jl. P. Senopati No. 28-30 Yogyakarta) yang bersebelahan persis dengan Gereja Katolik St. Fransiskus Xaverius, Kidul Loji (Jl. P. Senopati no.22, Kidul Loji, Yogyakarta). Saat Romo Mangun meninggal jenazah beliau disemayamkan di Gereja sebelah sekolah saya tersebut. Sehari sebelum dimakamkan, puluhan ribu pelayat sudah datang silih berganti, ribuan masyarakat ingin memberikan penghormatan terakhir pada beliau. Bahkan Gereja pun tak bisa menampung semua pelayat yang hadir, sehingga banyak pelayat yang berda di luar area Gereja, termasuk di depan sekolah saya. Sebagai tetangga paling dekat kami ikut membantu kelancaran prosesi tersebut. Sekolah saya difungsikan sebagai tempat parkir. Beberapa siswa, termasuk saya ikut mengatur kendaraan-kendaraan para pelayat. Bahkan kami sempat masuk ke Gereja untuk mendoakan beliau, tentunya sesuai agama yang kami anut. Dan saat itu di dalam gereja saya sempat melihat ada banyak pemuda dari beberapa organisasi Islam yang malakukan sholat jenazah untuk Romo Mangun, terharu saya melihatnya. Sehari sesudahnya, saat jenazah beliau akan dimakamkan, sekolah saya diliburkan karena kami para siswa memang tidak mungkin melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Itulah yang bisa saya ingat tentang Romo Mangun, selain Burung-Burung Manyar nya tentu saja. Baru saja saya googling, ternyata Romo Mangun meninggal pada tanggal 12 Februari 1999, dimakamkan tanggal 13 Februari 1999. Baru saya sadar kalau beberapa hari lagi tanggal 12 Februari, itu berarti 11 tahun sudah Romo Mangun meninggal. Siapa sih yang tak kenal dengan beliau? Lelaki berambut dan berjenggot putih ini tak hanya berprofesi sebagai Rohaniwan, Arsitek, Sastrawan, Politikus, Pendidik, dan Budayawan, namun juga sebagai pembela wong cilik karena semua profesinya itu hanyalah media perjuangan untuk tujuan yang sesungguhnya, yaitu kemanusiaan. Romo Mangun memang pribadi yang multidimensional, itulah sebabnya beliau diterima semua kalangan. Ahh...Romo Mangun, aku memang tak mengenalmu tapi aku mengagumimu....semoga kau tenang di alam sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H