Lihat ke Halaman Asli

Tidak Ada Perang yang Benar-benar 'Bersih'

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

TIDAK ada perang yang benar-benar menggunakan cara yang bersih. Perang Bharatayuda sebagai kisah perang paling klasik pun mempertontonkan, perang yang tidak hanya mengandalkan kemampuan di medan laga tetapi juga strategi dan taktik, bahkan kecurangan dan keculasan. Luar biasanya, epos ini juga memperlihatkan bahwa Pandhawa sebagai pihak yang ‘benar’ pun tidak selalu menggunakan cara-cara yang bersih.

Pada saat pihak Kurawa mengajukan Adipati Karna sebagai panglima perang, hampir saja Pandhawa kalah. Apalagi Gatutkaca panglima perang sekaligus anak Werkudara, saudara ketiga Pandhawa, meninggal di tangan Karna. Karna sendiri adalah saudara tiri Pandhawa, anak Kunthi dari Batara Surya. Arjuna, saudara kedua Pandhawa, yang dianggap paling mampu menandingi Karna rupanya enggan berperang dengan saudara tirinya itu. Prabu Kresna-lah yang berperan membujuknya dengan nasehat tentang darma seorang Ksatria. Nasihat ini dapat dilihat dalam kitab Bhagavadgita. Arjuna pun hampir kalah oleh Karna. Namun dengan strategi dari Kresna yang meminta Arjuna memanah gelungan rambut Karna, sehingga Karna lengah dan meninggal terkena panah Arjuna.

Bukan hanya ini saja ‘strategi’ yang disarankan oleh Kresna. Ketika Kurawa memasang Resi Durna sebagai panglima perang, pihak Pandhawa hampir pasti kalah di segala lini. Tentu saja, karena Durna adalah guru dari Pandhawa. Kresna jugalah yang menyusun strategi melemahkan Durna dengan cara meminta Werkudara membunuh gajah Estitama. Kresna juga minta agar pasukan Pandhawa bersorak-sorai dan menyebarkan kabar bahwa Aswatama, anak Durna, yang meninggal. Durna kebingungan karena anaknya dikabarkan meninggal. Semua pihak ditanya mengiyakan, bahwa Aswatama yang meninggal. Satu-satunya orang yang bisa dijadikan tempat bertanya dengan harapan kejujuran hanyalah Puntadewa. Atas bujukan Kresna jugalah Puntadewa menjawab Estitama dengan kata ‘esti’ yang sangat lemah sehingga yang terdengar hanya kata ‘tama’. Hilang semangat dan kendali diri, Resi Durna meninggal di tangan Drestajumena panglima perang Pandhawa.

Pandhawa juga hampir saja kalah ketika Kurawa mengangkat Prabu Salya sebagai panglima perang. Prabu Salya yang dikenal mempunyai kesaktian Candrabirawa yang bisa mengeluarkan ‘bajang’ –sejenis siluman— dari dalam dirinya sebanyak mungkin. Bajang ini pun jika dibunuh bukannya mati tapi malah beranak pinak. Mirip amuba yang membelah diri. Tentu saja sorak-sorai dari kubu Kurawa terdengar riuh rendah, meminta pasukan Pandhawa meletakkan senjata. Kresna kemudian meminta Nakula-Sadewa untuk menghadap Prabu Salya. Mereka berdua adalah kemenakan Salya, adik perempuan Salya adalah ibu mereka. Merasa kasihan dengan adiknya, Salya menuruti permintaan Nakula-Sadewa. Juga termasuk kelemahan Salya, yaitu jika berhadapan dengan Satria berdarah putih. Satria itu tidak lain adalah Puntadewa.

Dari tiga ihwal yang dicontohkan terkait Perang Bharatayuda itu pun tentu harus dengan lantang diakui bahwa tidak ada strategi yang benar-benar bersih. Pandhawa tentu tidak selalu baik dalam hal ini. Namun, Pandhawa dalam beberapa hal tetap menyelamatkan prinsip keutamaan sebagai ksatria. Dalam Bharatayuda itu missal yang pertama, Pandhawa tetap menjunjung dan menghormati sesepuh (pepunden). Dapat dilihat bagaimana Pandhawa enggan berperang melawan Resi Bisma kakek mereka. Bahkan ketika Bisma gugur, mereka berkabung dan tidak berperang. Kedua, Pandhawa juga sangat menghormati guru. Terlihat dari kesungkanan Pandhawa untuk menghadapi Resi Durna. Ketika akhirnya Resi Durna meninggal, Pandhawa berkabung. Ketiga, Pandhawa sangat menghargai nilai-nilai persaudaraan. Semarah apa pun Pandhawa pada Kurawa, Pandhawa tetap menjunjung tinggi nilai persaudaraannya dengan Kurawa dan terutama Prabu Karna. Untuk ini Arjuna sampai tidak mau berperang hingga dibujuk oleh Prabu Kresna. Keempat, mereka sangat menghormati keyakinan dan kepercayaan tanpa mencela. Resi Bisma, Prabu Salya, Prabu Karna, dan sebagainya adalah contoh-contoh ksatria bersih yang tidak bisa disamakan dengan Kurawa. Tetapi mereka berdiri di barisan Kurawa dengan berbagai keyakinan atas darmanya sebagai ksatria. Atas hal ini, Pandhawa tidak pernah mencela atau bahkan menyerang ksatria-ksatria ini karena perbedaan keyakinan dan kepercayaan.

Seandainya politik dalam wujud nyata kontestasi adalah Pemilu (Legislatif, Presiden, dan Kepala Daerah) dapat diilustrasikan sebagai perang Bharatayuda tentu seharusnya perang itu tidak menenggelamkan nilai-nilai keutamaan sebagai sebuah negara bangsa. Isu identitas dalam kontestasi politik tentu hal lumrah saja, tetapi menggunakannya sebagai alat untuk menyerang adalah awal keruntuhan pegangan bersama sebagai negara-bangsa. Karena begitu manifestasi dari pertarungan politik adalah pertarungan antar elemen negara-bangsa maka keruntuhan nilai-nilai yang dijadikan pijakan untuk hidup bersama dalam komunitas besar bernama Indonesia itu sedang dipertanyakan. Hajatan besar reguler bernama Pemilu hanya sekedar mengatur siapa yang berkuasamenerima mandat rakyat selama lima tahun untuk mengatur distribusi kebutuhan publik dan menjamin keberadaan semua warganegara. Lalu untuk bagaimana mungkin masa yang lima tahun ini dipertaruhkan dengan bangunan besar negara-bangsa yang dibangun atas keragaman suku, agama, ras, dan etnis.

Jika cerita wayang yang sedemikian kuno saja mampu membangun dasar yang agung tentang bagaimana ksatria memegang prinsip-prinsip sederhana semacam penghargaan terhadap orang tua, guru (ilmu), persaudaraan, dan keyakinan yang berbeda. Lantas kenapa sebagai manusia yang dilahirkan di dunia modern yang penuh adab masih saja ada prinsip dasar yang musti dilanggar. Memang tidak ada perang yang (teramat) bersih, begitu pula dalam kontestasi politik. Tetapi dalam setiap perang pun ada nilai keutamaan yang menjadi pegangan. Sebagai Indonesia, tentu kontestasi politik tidak seharusnya keluar dari marka keIndonesiaan kita. Kontestasi politik dengan menggunakan isu berbasi suku, agama, dan ras tentu jauh sebagai harapan menjadi Indonesia. Kontestasi politik dengan menciptakan rasa tidak aman dan nyaman warga negara tentu jauh dari apa yang pernah disepakati dalam konstitusi. Ingat, jika tidak mau mencatat, pertaruhan politik dengan mengorbankan prinsip dasar bernegara-bangsa adalah pertaruhan yang terlampau mahal. [sg]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline