Lihat ke Halaman Asli

Ini Bukan Tentang Siapa yang Jadi Presiden, Ini Tentang Memperjuangkan Harapan

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1404535067991173138


“... Raja Mataram iku dakumpamakake tebu: pucuke maneh yen legi, sanajan bongkote ing biyen yo adhem bae, sebab raja trahing wong tetanen: angur macula bae bari angona sapi” – Raja Mataram itu seumpama tebu: pucuknya saja tidak manis, bahkan pangkalnya dari dulu ya dingin saja tidak manis, karena raja keturunan petani: lebih baik mencangkul sembari memelihara sapi - (Meinsma, 1941).

SAYA punya teman berdebat (bahasa halusnya berdiskusi) yang luar biasa adilnya. Padahal kami sering berdebat karena berbeda pendapat, dan tampaknya akan begitu terus. Kami jarang bersepakat. Dia teman SMA ssaya. Kami berdua kebetulan satu kost waktu itu. Dia termasuk golongan anak yang pintar karena dia masuk IPA dan saya agak “kurang” sehingga saya masuk IPS. Bukannya dulu mengelompokkan pintar dan bodoh begitu? Teman saya ini pun termasuk orang yang shaleh dalam ukuran Islam. Berbeda dengan saya.

Terkait perhelatan pemilu presiden dan wakil presiden ini pun, saya dan teman saya tidak bersepakat dalam banyak hal. Banyak perdebatan kami, banyak informasi yang kami pertukarkan untuk menjadi basis argumen. Sesekali kami menertawakan pendukung-pendukung fanatis kedua belah pihak. Mereka konyol menurut kami. Berdebat ya berdebat saja, tetapi tidak perlulah manipulatif atas data dan informasi apalagi sampai harus marah dan berkelahi.

Perbincangan kami akhirnya sampai pada sebuah cara mengukur pasangan kandidat akan memenangkan proses politik ini atau tidak. Tentang cara mengukurnya biarlah kami saja yang tahu, karena ini hanya dapat kami pahami. Dari cara mengukur termasuk dukungan rezim pemerintahan ke kubu Prabowo-Hatta, teman saya meyakinkan bahwa Prabowo-Hatta akan lebih mudah menang dalam pemilu presiden dan wakil presiden kali ini. Tentu saja saya membantah dengan berbagai argumen. Hanya saja perbantahan itu menjadi tidak berujung karena hanya membicarakan siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Namun ini semua bagi saya bukan tentang siapa yang akan menjadi presiden dan wakil presiden. Saya katakan pada teman saya bahwa saya mendukung Joko Widodo pertama-tama bukan karena alasan ideologis. Alasan awal saya mendukung Joko Widodo karena saya senang saja ada orang biasa yang bisa menjadi calon presiden, apalagi kalau terpilih jadi presiden. Iya, Joko Widodo itu bukan siapa-siapa. Dia hanya keturunan Noto Mihardjo dan Sujiatmi Notomiharjo, orang biasa saja. Bukan berasal dari keluarga yang mempunyai trah darah biru dalam tradisi politik Indonesia, bukan pemimpin partai politik, dan juga bukan konglomerat. Joko Widodo hanya orang biasa saja. Jika orang biasa bisa menjadi (calon) presiden artinya semua orang biasa di seluruh Indonesia bisa jadi (calon) presiden. Ya anaknya Kang Toyo, ya anaknya Yu Giyem, ya mereka yang Jawa atau non Jawa, ya mereka yang Muslim dan non muslim, siapa pun dan apa pun identitas yang melekat dalam dirinya bisa menjadi (calon) presiden. Semua orang punya kesempatan dan harapan yang sama. Termasuk saya.

Jadi ini tentang harapan, temanku. Mungkin dirimu perlu baca The Trial-nya Kafka. Karya ini bahkan oleh Erich Fromm dikutip sebagai pembuka dalam tulisannya tentang Revolusi Harapan. Harapan yang mungkin berbeda-beda pada setiap orang inilah yang menggerakkan sedemikian besar warga dari berbagai lapisan. Mereka berbondong memberikan sumbangsih tenaga, pikiran dan uang. Hitung saja berapa banyak mereka yang berjuang untuk membela Joko widodo ini di berbagai media sosial. Berapa orang dan rupiah yang mereka sumbangkan untuk dana gotong royong Jokowi-JK? Berapa banyak kreativitas yang dilahirkan? Apakah semuanya skenario pencitraan Timses atau konsultan Jokowi-JK?

Mereka yang sadar akan harapannya tidak akan menunggu saja, tetapi akan turun tangan mewujudkan harapan. Inilah geliat luar biasa yang saya sendiri sampai hari ini heran: dorongan apa kiranya sehingga orang rela melakukan semua itu. Sebagai orang yang sadar menumbuhkan harapan tentu tidak akan bersoal jika harapannya tidak tumbuh seperti yang diinginkan. Semua adalah proses menjadi, ini periode untuk mematangkan Indonesia menjadi lebih dewasa. Biarlah kita tidak perlu memaksakan juga keyakinan kita, semua pilihan individual tentu akan memberi kontribusi atas Indonesia ke depan. Setidaknya bagi saya, warga kini telah mempunyai kesadaran politik untuk memperjuangkan nasibnya, untuk memperjuangkan harapannya. Warga juga sadar bahwa untuk mewujudkan harapan itu perlu biaya yang tidak sedikit dan butuh pengorbanan.

Harapan itu adalah kesiapan batin. Tentu semua harus siap siapa pun yang akan memenangkan pemilu presiden dan wakil presiden kali ini. Besar harapan saya itu adalah Joko Widodo dan Jusuf Kalla, tetapi saya tidak akan memupus harapan saya akan Indonesia yang lebih baik jika pun bukan kandidat pilihan saya yang terpilih. Setidaknya saya sudah punya harapan untuk bisa mencalonkan diri menjadi presiden, sehingga kalimat Trunajaya ketika berperang dengan Amangkurat II di atas segera terpupus: walaupun anak petani bisa jadi presiden, walaupun orang biasa bisa jadi presiden. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline