Lelaki kedelapan pun datang.
Lelaki pertama mati pada malam pertama akan tidur bersamaku beberapa tahun lalu. Seluruh penduduk heboh. Orangtuaku kalang kabut. Maklum, ayahku adalah seorang pemuka yang dihormati. Dengan cepat berita itu menyebar ke seluruh negri.
Setahun berlalu. Lelaki kedua datang. Nasib yang sama dialaminya. Ia pun tewas di ranjangku pada malam pertama, sebelum sempat menyentuh aku.
Lelaki ketiga datang juga. Kemudian lelaki keempat, kelima, keenam, dan ketujuh.
Sebagaimana sebelum-sebelumnya, pada malam setelah memperoleh restu orangtua, lelaki ketujuh siap menemaniku di ranjang. Namun sebelum malam berlarut, kejadian itu berulang. Begitu masuk kamarku, ia meronta-ronta, kedua tangan dan kaki menghantam dan menendang ke kiri dan kanan seolah melakukan perlawanan yang sangat sengit. Akhirnya ia terkapar, tubuhnya menggelepar dan mengejang, matanya membelalak, lidah menjulur keluar, dan berhembuslah nafas terakhirnya.
Aku hanya bisa berdiri tertegun menyaksikan kejadian itu, tak ada yang bisa kuperbuat. Lidahku menjadi kelu dan bibir serasa terkunci. Sementara ayahku mengetahui hal itu, ia sibuk mempersiapkan lobang. Sebelum fajar, jasad itu harus sudah dikuburkan.
Kini, datang juga lelaki kedelapan. Kekhawatiran yang amat sangat menerpa hatiku. Aku tak habis pikir, mengapa ayahku masih juga menerima pinangan itu. Seolah ayahku sebagai orang yang haus darah. Belum cukupkah tujuh lelaki dikorbankan? Masih berapa lelaki lagi kah akan meregang nyawa di depan mataku?
Kulihat dua orang pemuda itu berhasil mengambil hati ayah dan ibuku. Pertemuan mereka menunjukkan suasana keakraban dan keharuan. Dan akhirnya ayah dan ibuku dengan sukacita menerima pinangan itu, dan menyerahkan aku kepada salah satu pemuda itu. Dipanggilnya aku. dipegangnya kedua tanganku, dan dipertemukannya dengan kedua tangan pemuda itu. Diperkenalkan nama pemuda itu adalah Tobia. Tempik sorak penuh sukacita menggema di seluruh ruangan ketika kedua pasang tangan saling berpegang.
Sebagaimana sebelumnya, ketika perjamuan malam usai, ibuku mempersiapkan kamar dan ranjang terbaik bagiku. Dipasangnya tilam yang paling bagus, berbalut sutera yang paling indah. Kemudian menuntunku masuk, dan mengundang Tobia untuk menemaniku.
Kulihat Tobia membuka sebuah buntilan, mengambil sesuatu, dan menaburkannya pada bara api yang tersedia di sebuah tungku kecil di sudut kamar. Asap mengepul keluar dari tungku itu, aroma wangi menguar di seluruh ruangan. Seketika terdengar geram dan raungan penuh amarah, dan berkelebatlah sebuah sosok, lari tunggang langgang keluar ruangan. Sekelibat pula kulihat lelaki yang sedari tadi bersama Tobia, bergegas seolah mengejar sosok yang tunggang langgang itu. Kamar menjadi sepi dengan aroma yang semakin mewangi.
Sara, kekasih hatiku, kata Tobia kemudian. Jangan lagi takut dan kuawatir. Ayah dan ibumu telah merestui cintaku kepadamu, dan telah menyerahkan dirimu bagiku. Dan Tuhan yang Mahapengasih akan menyucikan percintaan kita ini, kita akan mampu menjalani hingga akhir usia kita di hari tua nanti. Cintaku kepadamu bukan semata ungkapan nafsu birahi, melainkan adalah hati yang tulus dan akan dikuduskan secara ilahi. Iblis yang baru saja berlalu mewujud dalam nafsu birahi dari tujuh lelaki yang lalu, yang hanya mengingini kemolekan tubuhmu tanpa hati yang tulus.