Lihat ke Halaman Asli

Jokowi, Pakailah Strategi Ying-Yang Menghadapi Kampanye Hitam!

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rakyat dalam pemilu memutuskan pilihanya berdasarkan persepsi yang dibangun lewat kesan yang ditangkap oleh indera mata dan telinga. Mereka tidak memilih memakai penalaran analitis. Karena itu orang mengatakan persepsi adalah kenyataan. Mari kita mencoba menguji diri kita sendiri, apakah kita lebih suka memilih Prabowo atau Jokowi berdasarkan data berikut ini?

Calon #1   Prabowo:  Pencemburu – Keras kepala – Impulsif–  Kritis – Rajin  – Pinter

Calon #2   Jokowi:      Pinter – Rajin – Kritis – Impulsif –  Keras kepala – Pencemburu

Besar kemungkinan kita akan memilih Jokowi lebih disukai daripada Prabowo. Walaupun Prabowo dan Jokowi kalau dicermati keduanya mempunyai 6 ciri yang sama.  Ciri-ciri awal dalam daftar mengubah pengertian ciri-ciri yang muncul berikutnya. Ini adalah “halo effect”. Kesan pertama tentang seseorang atau sesuatu mempunyai kemampuan membelokan pandangan kita tentang orang, situasi dan akibat-akibatnya. Akhirnya, kita mengambil keputusan berdasarkan pandangan yang  dibangun oleh kesan pertama ini.  Dalam kasus Prabowo dan Jokowi di atas, kita cenderung untuk bisa memaklumi seorang yang pinter dan rajin (ini kesan pertama) walaupun keras kepala dan pencemburu (ini kesan berikutnya). Sebaliknya kita menganggap berbahaya seorang yang pencemburu dan keras kepala (ini kesan pertama), apalagi pinter (ini kesan berikutnya).

Manusia (sekolahan atau tidak) cenderung maunya berpikir cepat, mengutamakan intuisi yang seringnya  terjadi secara otomatis  tanpa usaha.  Kelemahan kita ini yang sering digunakan oleh orang marketing untuk mengarahkan keputusan kita dalam membeli produk atau dipakai juru kampanye memenangkan seorang kandidat, tanpa perlu mengubah data atau berbohong.  Kesan baik pertama terhadap seorang kandidat biasanya hanya menjadi persepsi dalam jangka pendek. Kesan baik pertama lebih cepat luntur dibandingkan dengan kesan buruk pertama. Karena itu dalam kampanye, yang digunakan adalah membangun kesan buruk pertama berdasarkan fakta atau data yang ada. Ini disebut “smear  campaign” atau kampanye hitam. Bila kesan buruk ini tidak cepat dinetralisasi maka persepsi yang telah terbentuk bakal sulit diubah. Jika ini terjadi, orang sering bilang “the damage is already done”. Persepsi ini umumnya dibangun lewat tayangan atau ucapkan berulang atas fakta yang ada, tapi ditaruh dalam konteks yang diinginkan oleh lawan.

Ambil contoh kubu Prabowo lewat pendukungnya (bukan oleh Prabwowo sendiri) mengatakan bahwa Jokowi itu pemimpin yang ingkar janji karena sudah setuju dengan sumpah jabatan membenahi Jakarta 5 tahun, tetapi baru 2 tahun sudah mau meninggalkan tanggung jawab untuk mencalonkan diri sebagai Capres. Ini fakta, bukan data bohong, tapi diucapkan untuk membangun kesan buruk terhadap Jokowi. Hal ini terus didengungkan di media masa dan setiap kali ada debat di TV. Tujuannya adalah membangun kesan buruk dalam benak masyarakat bahwa Jokowi itu sosok pemimpin yang ingkar janji dan suka meninggalkan tanggung-jawab. Karena itu Jokowi tidak bisa dipercaya dan tidak layak untuk dipilih menjadi Presiden.  Ini adalah kampanye hitam dari kubu Prabowo dan juga menunjukan mereka sangat paham menggunakan taktik ini  demi kemenangan Prabowo.

Kesan semacam itu tidak bisa dilawan dengan memakai logika penalaran analitis oleh kubu Jokowi. Misalnya menerangkan bawah pencapresan dia sekarang ini sebagai kenaikan pangkat atau promosi jabatan seperti yang pernah dilakukan kubu Prabowo waktu mengusung Jokowi dari Walikota Surakarta menjadi Gubernur Jakarta. Tambahan penjelasan oleh kubu Jokowi membuat persoalan “ingkar janji” menjadi lebih kompleks dan masyarakat malas menggunakan kemampuan analitisnya. Karena itu masyarakat cenderung mengunakan berpikir cepat yaitu menerima “ingkar janji” menurut versi Prabowo. Selain itu, kubu Prabowo bisa menambahi bahwa Jokowi itu berbahaya karena haus kekuasaan dengan terus meninggalkan tanggung jawab yang tidak pernah dia selesaikan dulu di Surakarta dan kemudian sekarang di Jakarta.

Kampanye hitam tujuannya adalah menghancurkan image, kegiatan profesional dan/atau bahkan kehidupan pribadi seseorang. Contohnya, pemilu presiden di Amerika Serikat 2004 antara John Kerry lawan George W. Bush.  John Kerry adalah veteran perang Vitenam dengan beberapa bintang jasa dan digambarkan sebagai pahlawan oleh kubunya, Partai Demokrat. Namun, setelah pulang perang dia ikut aktif berdemonstrasi anti perang dan menuntut penghentian perang Vietnam. Data ini dan data bagaimana dia memperoleh bintang jasa dipakai oleh kubu Bush, Partai Republik, lewat perantara beberapa veteran seunit dengan Kerry untuk mendiskreditkan Kerry dengan mempertanyakan kredibilitas dan kepatriotannya. Gambaran tentang Kerry yang terbangun bukan lagi sebagai pahlawan perang tapi sebagai pengkianat dan pengecut. Kerry kalah telak dari Bush, yang menjadi Presiden Amerika Serikat nomor 43. Kasus ini dikenal sebagai “swiftboating” untuk menggambarkan serangan politik yang tidak jujur atau tidak benar konteksnya demi menghancurkan image lawan.

Contoh lainnya, pemilu presiden di Amerika Serikat 2012 antara Barack Obama lawan Mitt Romney. Romney yang mewakili Partai Republik pernah berucap bahwa dia berani taruhan $10 ribu dan menyatakan mempunyai beberapa teman sebagai pemilik tim balapan mobil NASCAR. Fakta itu terkesan netral jika disajikan tanpa konteks. Oleh kubu Partai Demokrat yang mendukung Obama beberapa pernyataan Romney ditayangkan berulang untuk membangun image bahwa Romney adalah dari golongan elite yang jauh dari masyarakat kebanyakan dan tidak bisa memahami kebutuhan rakyat. Uang $10 ribu itu setara gaji 2,5 bulan gaji rata2 keluarga di Amerika Serikat dan pemilik balapan mobil NASCAR adalah milyarder. Romney sendiri adalah milyarder pelaku  bisnis yang sukses. Jadi gambarannya sangat pas bahwa dia adalah seorang kaya yang tidak mungkin bisa mengerti dan memperjuangkan kepentingan rakyat kebanyakan. Romney kalak telak lawan Obama.

Pengalaman menunjukan bahwa untuk melawan kampanye hitam yang paling efektif adalah membalasnya dengan kampanye hitam sekaligus mempertahankan kampanye putih. Kampanye hitam tidak bisa dilawan dengan mencoba menjelaskan konteks serangan lawan pakai logika penalaran analitis atau cuma mengandalkan kampanye putih saja. Serangan balasan harus mengena pada sasaran didukung lewat kepakaran yang terorganisasi dengan bagus dan dilakukan secara cepat dan efektif pada aras lokal, lewat TV, radio, surat kabar local dan para sukarelawan. Ini adalah strategi Yin-Yang, yaitu kampanye hitam dan putih dilakukan sekaligus. Strategi ini terkesan saling berlawanan, tapi bisa dijalankan oleh Jokowi dan pendukung kubunya secara terpisah tapi dalam koordinasi yang sama. Jokowi tetap melakukan kampanye putih dan bila perlu menjelaskan penalaran kenapa dirinya sekarang dibutuhkan memimpin Indonesia (silahkan baca: Gila, Jika Kita Tidak Pilih Jokowi ) dibarengi secara terpisah oleh pendukung kubunya melakukan swiftboating ke Prabowo secara cepat dan efektif pada aras local, grassroots.  Kampanye putih langsung oleh Jokowi adalah untuk mempertahankan gambaran positifnya. Sedangkan pendukung kubunya melakukan kampanye hitam untuk menghantam balik serangan dari kubu Prabowo. Silahkan mengolah fakta tentang perilaku, tindakan, atau pengalaman kerja  Prabowo dan kemudian memakai hasilnya sebagai bahan kampanye hitam untuk menghantam balik kampanye hitam dari kubu Prabowo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline