Ada sedikit rasa gembira karena Mery Jane yang direncanakan akan dieksekusi dini hari tadi ternyata kemudian ditangguhkan. Ternyata, masih ada sedikit jejak rasa kemanusiaan dalam diri pemimpin kita, Presiden RI Joko Widodo. Ketegasan dan kedaulatan hukum bukanlah sebuah harga mati sehingga nilai hidup pun harus dikorbankan. Ternyata, masih ada ruang bagi keadilan di tengah peradilan sesat di negeri ini.
Namun, rasa gembira saya mungkin tidak akan bertambah besar andai pun pada akhirnya Mery Jane dibatalkan hukuman matinya, atau bahkan dibebaskan dari hukuman penjara apapun. Rasa gembira saya hanya akan bertambah besar bila hukuman mati dilenyapkan dari negeri ini. Pada saat itulah kegembiraan saya akan meluap-luap, karena bangsa Indonesia menunjukan kelasnya sebagai bangsa beradab.
Adanya hukuman mati dalam perundangan di negeri ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang pemarah. Dan bukan saja karena masih termuat dalam undang-undang (KUHP), pro kontra di media sosial tentang hukuman mati bagi para terpidana narkoba, sependek pengamatan saya, menunjukkan lebih banyak pihak yang pro (mendukung) dibanding yang kontra (menentang) pelaksanaan eksekusi mati. Di forum Kompasiana ini saja sebagai sampelnya: banyak sekali yang mendukung dan mendesak segera dilaksanakannya hukuman mati, dibanding yang menolak! Ini kenyataan yang menyayat hati.
Hukuman mati, bagi kejahatan apapun, merupakan sebuah perlawanan terhadap nilai yang mestinya menjadi nilai tertinggi, yaitu nilai hidup. Sudah sering, bahkan sampai berbusa-busa, kita berwacana bahwa hidup matinya setiap mahluk manusia di bumi ini berada di tangan Tuhan. Namun, ketika kita mendukung pelaksanaan eksekusi mati, di situ sebenarnya kita sedang merampas hak menentukan hidup itu dari tangan Tuhan dengan mencari rasionalisasi sebagai bentuk kedaulatan dan penegakan hukum di negeri ini.
Bangsa Indonesia juga menjadi bangsa pemarah karena juga seolah kita menutup telinga bagi kemungkinan ketidakadilan yang lahir dari sebuah peradilan sesat. Pertimbangan hati nurani kalah dan dipermainkan oleh isu-isu kedaulatan hukum, dan bahkan SARA. Fakta lapangan yang menunjukan bahwa Mary Jane hanyalah seorang buruh migran, kurir yang tidak tahu apa yang dibawanya tidak cukup meluluhkan hati banyak orang Indonesia untuk sekedar berempati dengan dengannya. Demikian juga, banyak yang seolah menutup telinga dengan fakta peradilan, di mana Mery Jane yang tidak terlalu paham bahasa Inggris hanya didampingi oleh seorang penerjemah anak kuliahan. Intinya, Mery Jane harus dieksekusi mati!
Padahal seandainya Mery Jane dan terpidana mati lainnya terbukti benar-benar bersalah pun, hukuman mati tetap tidak layak. Dengan membunuh orang yang 'membunuh' orang, kita menunjukkan dan menampilkan sebuah citra negatif bahwa kita tidak lebih baik dari si 'pembunuh' itu. Bedanya, hanyalah bahwa tindakan membunuh kita dilegalkan oleh aturan yang dibuat oleh manusia. Dilihat dari sisi moral dan etika, kita sedikitpun tidak lebih baik dan bermartabat daripada orang yang membunuh tersebut. Insting kita masih berada pada level kebinatangan, yang secara naluriah membunuh dan mematikan apa yang ia rasa sebagai ancaman. Padahal sebagai manusia berbudaya, yang memiliki katanya budi, rasa, dan karsa, respons dan insting membunuh mestinya sudah terkikis dari kesadaran kita. Hukum dan kesadaran kita mestinya bergerak pada bentuk-betuk hukuman yang jauh lebih bermartabat dan menunjukkan penghargaan terhadap nilai hidup. Saya pikir, beradab tidaknya suatu bangsa amat ditentukan pada legal tidaknya penerapan hukum mati dalam undang-undang negara tersebut.