Usulan BNPT dan langkah Kementerian Informasi dan Komunikasi untuk memblokir (menutup) sembilan belas situs radikal dan penyebar kebencian patut diberi apresiasi setinggi-tingginya. Meski tindakan pemblokiran tersebut sudah sangat terlambat, toh paling tidak ia sedikit memutus mata rantai bom waktu radikalisme yang kini telah meledak dengan hadirnya pengikut ISIS di Indonesia.
Bahwa kebanyakan situs-situs tersebut menyebarkan benih radikalisme dan kebencian, saya pikir tidak dapat kita sangkal dengan berpura-pura kaget dan tidak tahu. Sudah sejak lima tahun terakhir, saya cukup mengamati banyak pemberitaan dari beberapa situs tersebut. Pandangan dan komentar dari banyak netizen di beberapa forum sosial pun memberikan kesan buruk atas situs-situs tersebut. Benih radikalisme dan kebencian nampak dalam pemutlakan suatu pandangan keagamaan atau ideologi aliran tertentu, sembari mengafirkan pandangan lain di luar dirinya. Kebhinekaan keyakinan tidak dipandang sebagai kekayaan, melainkan dilihat dengan sebelah mata sebagai musuh dan ancaman yang mengganggu eksistensi kelompok dan esensi ajarannya.
Selain menyebarkan benih radikalisme dan kebencian, situs-situs tersebut memiliki kadar informatif yang sulit dipertanggungjawaban, kalau tidak mau dikatakan sebagai hasil imajinasi para admin atau pengelola situs semata. Ketika pembaca misalnya mencoba memverifikasi kebenaran suatu berita dengan mencari ke sumber aslinya, maka akan sangat sulit ditemukan. Kebanyakan artikel yang tidak bisa dipertanggungjawabkan tersebut hanya beredar di antara situs-situs yang sejenis itu. Di forum KasKus, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setiap berita yang sumbernya berasal dari situs-situs tersebut merupakan berita hoax. Dari sini pun kita bisa menilai bahwa situs-situs tersebut sebenarnya tidak memiliki nilai pendidikan apa-apa, mulai dari hal-hal yang berbau sains sampai yang berkaitan dengan moral dan akidah.
Menggunakan demokrasi dan kebebasan berekspresi sebagai alasan untuk mempertanyakan dan membatalkan pemblokiran adalah sangat tidak tepat. Demokrasi dan kebebasan berekspresi yang benar adalah yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak mengganggu stabilitas keamanan. Di mana pun di muka bumi ini tidak ada kebebasan yang sebebas-bebasnya sehingga kebebasan itu justru menjadi ancaman bagi kebebasan pihak lain. Hukum justru lahir untuk membatasi kebebasan agar keamanan dan stabilitas tercapai. Adalah sangat ironis ketika situs-situs yang selama ini mengafirkan demokrasi dan kebebasan, kini malah mengemis hidup dengan menggunakannya sebagai tameng dan sekaligus senjata untuk memancung kebebasan kelompok lain.
Tindakan lambat BNPT dan Kementerian Infokom semestinya mendorong seluruh rakyat Indonesia untuk melihat ada apa sebenarnya sehingga situs-situs tersebut baru dipersoalkan di jaman kabinet kerja Jokowi, bukan sejak di jaman Pak SBY dengan menterinya yang dari PKS itu. Rakyat hendaknya tidak terkecoh untuk sekedar mempersoalkan kebebasan berekspresi dan demokrasi, lalu melupakan penumpang gelap situs-situs radikal tersebut: penyebaran ISIS di Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H