Lihat ke Halaman Asli

Patrix W

just an ordinary man

Revolusi Mental: Berpikir Benar dan Bertindak Benar!

Diperbarui: 20 Juni 2015   02:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jokowi benar ketika mengatakan bahwa bangsa ini membutuhkan sebuah revolusi mental. Berbagai ketimpangan dalam hampir semua segi kehidupan bangsa ini. Rasa-rasanya tidak ada yang memuaskan. Korupsi, diskriminasi, manipulasi, pelecehan seksual, kekerasan, black campaign, hanyalah beberapa fenomena eviden saat ini. Semua komponen bangsa, aparat pemerintah, rakyat, dan bahkan media sepertinya tidak ada yang mau ketinggalan untuk ambil bagian dalam gangguan mental akut ini. Seolah, semuanya sepakat untuk merasakan bagaimana nikmatnya bermental rusak demi tercapainya kepentingan dan nafsu pribadi atau kelompoknya.

Kerusakan mental seolah-olah dijadikan sebagai akibat dari sistem pemerintahan yang kurang bagus, hukum positif yang kurang tegas, pengawasan dari instansi negara ataupun agama yang kurang melekat, atau karena tingginya tuntutan hidup, tetapi terutama karena mental aparatur dan rakyat yang tidak terpuji. Kerusakan mental tidak akan pernah dapat diatasi dengan memperbaiki sistem pengawasan, memperberat hukuman, atau memperbaiki kesejahteraan dengan upah yang layak. Selama mental masih rusak, sistem sebaik apa pun, pengawasan seketat bagaimana pun, upah setinggi langit, atau juga hukum sekeras baja, maka selama itu hanyalah sebuah kesia-siaan belaka. Mungkin bisa sedikit meredam untuk sementara waktu. Namun, fenomena-fenomena yang saya sebutkan di atas akan terus menjadi bahaya laten yang mengancam bangsa ini.

Revolusi mental pertama-tama menuntut perubahan cara berpikir dan cara bersikap atau bertindak. Keduanya harus menjadi satu kesatuan dan tidak boleh terlepas. Pada tahap pertama, orang tentu mesti dapat berpikir benar, dan kemudian harus diikuti dengan tindakan yang benar. Yang saya maksudkan dengan berpikir benar pertama-tama bukanlah yang berkaitan dengan kemampuan intelektual atau teknis, tetapi terutama yang berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan moral dan etis.

Mental yang baik hanya akan tercipta bila orang berpikir benar dan bertindak benar. Berpikir benar saja tidak cukup, sebab berpikir saja tanpa aksi nyata tidak akan membawa manfaat. Demikian pun, bila hanya tindakan yang benar tanpa dilandasi cara berpikir yang benar, maka tindakan tersebut hanyalah sebuah kebetulan semata yang bisa berubah-ubah sesuai dengan mood si pelaku. Sebagai rational being, pikiran yang benar harus menjadi dasar bagi tindakan benar.

Problem mental bangsa ini justru terjadi karena adanya kesenjangan antara pikiran dan tindakan. Apa yang ada dalam pikiran tidak diimplementasikan dalam tindakan. Sudah banyak sekali, bahkan jauh lebih banyak, orang yang dapat berpikir benar dibandingkan yang tidak dapat berpikir benar. Bahkan setiap pribadi yang sehat semestinya telah memiliki kapasitas kodrati (bawaan) untuk menentukan mana yang benar dan baik, dan mana yang tidak baik. Setiap pribadi yang sehat, termasuk golongan iliterasi,  tentu sadar bahwa mencuri (korupsi) itu tidak baik. Setiap manusia dilengkapi dengan kapasitas mental, atau yang dalam bahasa agama disebut suara hati/hati nurani, yang menuntun dan mengarahkannya untuk menentukan mana yang benar dan tidak benar. Tetapi sekali lagi, problem utamanya bukan pada ketidakmampuan berpikir benar, tetapi ketidakmampuan mengimplementasikan pikiran yang benar tersebut dalam tindakan yang benar.

Sebagai ilustrasi, setiap manusia Indonesia, termasuk koruptor kelas kakap, ketika ditanya apakah korupsi itu baik saya yakin sembilan puluh persen akan kompak menjawab bahwa korupsi itu tidak baik. Lalu mengapa masih korupsi, kalau mengetahui bahwa itu tidak baik dan bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama? Mengapa pengetahuan yang benar bahwa korupsi itu tidak baik tidak diikuti dengan tindakan yang benar untuk tidak korupsi?

Plato, seorang pemikir Yunani kuno, menyebutkan ada tiga daya alami yang mempengaruhi manusia: akal budi, emosi, dan hawa nafsu. Kebajikan atau keputusan yang benar hanya dapat tercapai apabila akal budi mampu mengekang emosi dan hawa nafsu. Ketika akal budi mampu mengekang hawa nafsu maka akan timbul kebajikan mawas diri (temperance). Orang yang mawas diri adalah orang yang dapat menjaga harga dirinya dari perbuatan-perbuatan yang rendah. Ketika akal budi dapat mengekang emosi, maka akan muncul keberanian dan semangat (courage) atau passion dalam menjalankan aktivitasnya. Berkaitan dengan emosi yang tidak terkontrol, saya teringat sebuah adagium: “yang berawal dengan kemarahan, akan berakhir dengan rasa malu”. Ketika akal budi mampu mengontrol emosi dan hawa nafsu, maka akan  muncul kebijaksanaan (wisdom). Orang yang bijaksana adalah orang yang mampu mengambil keputusan-keputusan tepat dalam setiap situasi. Selain tiga kebajikan tersebut, masih ada kebajikan terakhir, yaitu keadilan (justice). Manusia dapat berbuat adil apabila ia mampu mengatur dan mengolah ketiga daya alami: akal budi, emosi, dan hawa nafsu secara baik. Manusia tidak akan pernah dapat berbuat adil terhadap sesamanya selama masih dikuasai oleh emosi dan hawa nafsu.

Selain tiga daya alami yang disebutkan Plato, mungkin bisa kita tambahkan hati nurani atau suara hati. Suara hati dapat menjadi pemandu yang baik bagi akal budi, terutama ketika akal budi mulai kehilangan kontaknya dengan nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Hati nurani menjadikan keputusan akal budi, bukan saja lebih beradab, tetapi juga dapat menyelaraskannya dengan ajaran iman dan moral seseorang.

Dari pemikiran Plato tersebut, pertanyaan tentang kesenjangan berpikir benar dan bertindak benar bisa terjawab secara singkat dan sederhana: akal budi manusia Indonesia masih dikuasai emosi dan hawa nafsu. Problemnya, insting kingdom animalia masih amat kuat dan dominan dalam pengambilan keputusan. Nafsu pribadi dan kelompok, emosi (rasa suka tidak suka, perasaan sesuku, seagama, seras) lebih sering menang dan dapat meredam kemampuan berpikir baik dan benar dalam mempengaruhi tindakan. Tidak heran, meski jawabannya singkat dan sederhana, namun pemecahannya terasa begitu rumit untuk bangsa ini. Perbaikan pada sistem hukum, kurikulum pendidikan, membentuk lembaga-lembaga dan komisi pengawas, perbaikan upah atau gaji, pelatihan dan kursus, dan banyak yang lainnya tidak akan pernah cukup untuk menyembuhkan penyakit bangsa ini.

Beberapa tahun terakhir, perombakan kurikulum pendidikan dasar dan menegah yang mulai menitikberatkan pada pendidikan karakter kelihatan memberi sedikit asa tentang generasi bangsa ke depan. Namun, pendidikan karakter sepertinya hanya menjadi pemanis kurikulum saja. Latihan-latihan kebajikan yang harus ditanamkan sejak dini lewat teladan justru sering mendapat penawarnya oleh perilaku menyimpang pendidik, yang menghalalkan berbagai cara untuk kepentingan sesaat anak didiknya dan prestise sekolahnya. Bocornya soal Ujian Nasional yang melibatkan guru yang beberapa waktu lalu terbongkar di Jawa Tengah hanyalah sebuah contoh kecil saja. Lagi-lagi yang terlihat di sini, nafsu (untuk dipuji dan disanjung) dan emosi (belas kasihan pada murid) menang atas akal budi, yang dengan tahu dan sadar mengatakan bahwa apa yang dilakukan tersebut salah, dan bahwa pendidikan yang berkualitas tidak akan pernah tercapai dengan cara-cara kotor demikian.

Revolusi mental ala Plato berarti mengembalikan dominasi akal budi dan hati nurani atas nafsu dan emosi. Revolusi moral pada tempat pertama harus ditujukan pada diri sendiri, yaitu dengan mempertanyakan secara terus menerus keselarasan antara pikiran dan tindakan. Apabila terjadi ketidakselarasan antara keduanya, maka sudah saatnya untuk mulai mengolah dan mengontrol emosi dan hawa nafsu. Ketika seseorang merasa memiliki harga diri untuk tidak melakukan hal-hal kotor dan keji (korupsi, manipulasi, diskriminasi, dll), atau keputusannya adil dan bijaksana tanpa didasari kepentingan emosional tertentu, maka selamat! Anda termasuk orang-orang bermental baik di negeri ini.

Revolusi mental Jokowi patut didukung, sebab itulah kebutuhan paling urgen bangsa ini. Namun, tentu sayang bila revolusi moral tersebut pada akhirnya hanya menjadi slogan kosong tanpa tindakan nyata, sebagaimana yang sedang terjadi dengan pendidikan karakter pada kurikulum pendidikan nasional: hampir tidak ada pengaruhnya sama sekali.

Salam Revolusi Mental!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline