Citra dan Polarisasi: Wajah Politik Indonesia di Era Digital
Media sosial telah menjadi komponen utama dalam komunikasi politik modern, termasuk di Indonesia. Dengan kemajuan teknologi informasi, platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok kini menjadi wadah strategis bagi politisi untuk membangun citra diri sekaligus berinteraksi langsung dengan masyarakat. Media sosial menawarkan akses yang luas dan cepat, memungkinkan politisi menyampaikan pesan tanpa hambatan, sambil menciptakan citra yang memikat melalui konten visual, meme, serta narasi yang mampu menarik perhatian khalayak.
Perubahan ini telah menggantikan pola kampanye politik tradisional yang sebelumnya mengandalkan media seperti televisi, radio, dan surat kabar. Contohnya, dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016, Donald Trump berhasil memanfaatkan media sosial untuk menjangkau jutaan orang secara instan melalui cuitan-cuitannya, yang memiliki dampak signifikan dalam membentuk opini publik.
Namun, pemanfaatan media sosial untuk pencitraan politik juga menimbulkan sejumlah tantangan. Di satu sisi, platform ini memungkinkan politisi lebih dekat dengan masyarakat, menciptakan kesan autentik, dan membangun hubungan yang lebih erat dengan pemilih. Di sisi lain, hal tersebut juga dapat dianggap sebagai cara untuk memanipulasi persepsi publik dan berisiko memperburuk polarisasi politik. Pesan-pesan yang disampaikan melalui media sosial cenderung hanya diterima oleh kelompok yang sudah sependapat, sehingga membatasi ruang diskusi dan memperlebar jurang perbedaan antar kelompok masyarakat.
Fenomena ini menjadi semakin relevan karena komunikasi politik tidak hanya mencerminkan hubungan kekuasaan, tetapi juga memiliki dampak langsung terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana media tradisional dan digital dapat saling melengkapi dalam membentuk dinamika politik yang lebih baik, sehingga tercipta hubungan yang lebih harmonis antara politisi dan masyarakat, serta mendukung penguatan demokrasi yang lebih inklusif.
Teori Komunikasi Politik merupakan cabang ilmu yang mengkaji bagaimana pesan-pesan politik dirancang, disampaikan, diterima, dan diinterpretasikan oleh berbagai kalangan masyarakat. Kajian ini juga mengeksplorasi bagaimana proses komunikasi politik memengaruhi dinamika hubungan antara aktor politik---seperti politisi, partai politik, dan lembaga pemerintah---dengan media sebagai perantara informasi, serta masyarakat sebagai penerima sekaligus partisipan dalam proses politik. Teori ini tidak hanya berfokus pada aspek teknis dalam penyampaian pesan, tetapi juga menggali elemen-elemen strategis, psikologis, dan sosiologis yang terlibat dalam komunikasi politik. Komunikasi politik memegang peranan penting dalam membentuk persepsi masyarakat, memengaruhi opini publik, menggerakkan partisipasi massa, dan menentukan arah pengambilan keputusan dalam ranah politik.
Berikut adalah beberapa teori utama dalam komunikasi politik:
1. Agenda-Setting Theory
Media massa tidak hanya memberikan informasi kepada publik, tetapi juga menentukan isu mana yang dianggap penting. Hal ini dijelaskan dalam Agenda-Setting Theory, yang menunjukkan bahwa media memiliki kemampuan untuk memengaruhi prioritas isu di benak masyarakat. Sebagai contoh, selama pemilu 2019 di Indonesia, media sosial ramai membahas isu ekonomi dan korupsi, yang kemudian menjadi topik utama dalam debat publik. Dengan demikian, media tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk fokus perhatian masyarakat terhadap isu-isu tertentu.
2. Teori framing