Lihat ke Halaman Asli

Seylin Amran

STIKes Mitra Keluarga

Melakukan Gerakan Yoga Sederhana Untuk Mengatasi Stres Pada Mahasiswa di Era Pandemi

Diperbarui: 24 April 2022   13:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Mahasiawa baru yang baru saja memasuki lingkungan akademis di dunia kampus atau universitas yang baru pasti akan mengalami culture shock dikarenakan budaya dari setiap individu berbeda, seperti perbedaan cara belajar, cara berkomunikasi, berinteraksi, dan penggunaan bahasa yang dianggap selalu menjadi masalah dalam berkomunikasi bagi para individu yang menjadi mahasiswa baru.

Sebuah transisi pada mahasiswa baru yang mana dari sekolah menengah atas ke tingkat perguruan tinggi menantang individu pada usia dewasa mudanya untuk hidup mandiri, menangani segala keuangannya secara mandiri, menjaga standar akademik dan integritas yang baru di dunia universitas, dan pastinya harus menyesuaikan diri kembali dengan kehidupan sosial baru di dunia universitas atau perguruan tinggi.

Dalam keadaan seperti ini mahasiswa tidak diragukan lagi mengalami konsletasi stressor termasuk masalah akademik, masalah keuangan, dan atau sosial strain. Stress di kalangan mahasiswa mungkin juga hasil dari beban kerja yang terlalu berat, masalah dengan manajemen waktu, tantangan dengan hubungan interpersonal, atau rasa takut kegagalan akademik (Udhayakumar & Illango, 2018).

Namun pada tahun 2020 ketika WHO telah menyatakan bahwa COVID-19 atau SARS-CoV-2 sebagai pandemi global terhitung sejak Maret 2020 (WHO, 2020) . Mengikuti kebijakan physical distancing untuk mencegah penyebaran COVID-19 yang diterapkan di Indonesia, kegiatan akademis pun dialihkan dari metode tatap muka ke metode daring. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Edaran Mendikbud Nomor 36962/MPK.A/HK/2020 yang menyatakan bahwa pembelajaran secara daring dari rumah bagi mahasiswa (KEMENDIKBUD, 2020).

Perubahan transisi ini memaksa mahasiswa untuk harus beradaptasi dengan sistem baru yang menghadirkan beberapa tantangan dalam pelaksanaannya. Diantaranya yaitu, jaringan internet dan jumlah kuota internet yang dimiliki diharuskan stabil dan mencukupi , penyampaian dan pemberian materi perkuliahan dari dosen tidak sejelas perkuliahan tatap muka, serta jadwal akademik yang mundur atau tertunda. Selain masalah yang berkaitan  langsung dengan proses perkuliahan, , juga terdapat  stresor yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari mahasiswa itu sendiri. Dampak dari perubahan-perubahan yang dialami oleh mahasiswa selama pandemi COVID-19 berisiko mengakibatkan munculnya masalah kesehatan mental.

Masalah kesejahteraan psikologis telah menjadi semakin umum di kalangan mahasiswa perguruan tinggi saat ini, terutama mahasiswa sarjana yang rentan terhadap masalah psikologis. Bukti menunjukkan bahwa mahasiswa rentan terhadap masalah kesehatan mental yang dimilikinya membangkitkan perhatian publik yang meningkat (Udhayakumar & Illango, 2018)

Masalah kesehatan mental yang meningkat dan diperparah di masa pandemi ini adalah stres, kecemasan, dan bahkan depresi. Bagi mahasiswa, pandemi ini mengakibatkan stres dan kecemasan yang berkaitan dengan perubahan proses perkuliahan dan kehidupan sehari-hari selain stres yang dialami oleh mahasiswa pada kehidupan normal sebelum adanya pandemi. Tentunya juga karena keadaan pandemi ini menambah tingkat stress pada mahasiswa.

Disimpulkan bahwa stres adalah tekanan yang terjadi akibat ketidaksesuaian antara situasi yang diinginkan dengan harapan, di mana terdapat kesenjangan antara tuntutan lingkungan dengan kemampuan individu untuk memenuhinya yang dinilai potensial membahayakan, mengancam, mengganggu, dan tidak terkendali atau dengan bahasa lain stres adalah melebihi kemampuan individu untuk melakukan coping (Barseli et al., 2017).

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) melakukan survei mengenai kesehatan mental melalui swaperiksa yang dilakukan secara daring melalui website PDSKJI. Hasil swaperiksa yang dilakukan oleh 4.010 responden (71% perempuan dan 29% lakilaki) selama lima bulan (April-Agustus 2020) menunjukkan sebanyak 64,8% responden mengalami masalah psikologis dengan proporsi 64,8% mengalami cemas, 61,5% mengalami depresi, dan 74,8% mengalami trauma. Masalah psikologis terbanyak ditemukan pada kelompok usia 17-29 tahun dan diatas 60 tahun (PDSKJI, 2022).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh (Hasanah et al., 2020) menyebutkan bahwa mahasiswa yang mengalami kecemasan ringan dan normal masing-masing sebanyak 79 orang (41,58%) dan kecemasan sedang sebanyak 32 orang (16,84%). Mahasiswa yang mengalami stres normal sebanyak 167 orang (87,89%) dan stres ringan sebanyak 23 orang (12,11%). Sedangkan sebuah penelitian yang dilakukan  ( Harahap et al., 2020) menyebukan bahwa sebanyak 39 mahasiswa (13%) mengalami tingkat stres akademik tinggi, 225 mahasiswa (75%) mengalami stres akademik sedang, dan 36 mahasiswa (12%) mengalami stres akademik rendah

Faktor akademik juga menyumbangkan potensi stres, misalnya karena perubahan gaya belajar dari sekolah menengah ke pendidikan tinggi, tugas-tugas perkuliahan, target pencapaian nilai, serta prestasi akademik. Tingkat stres yang meningkat di kalangan mahasiswa dapat mengakibatkan penurunan prestasi akademis dan dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental mahasiswa (Fauziyyah et al., 2021). Stres akademik diartikan sebagai keadaan dimana seseorang tidak dapat menghadapi tuntutan akademik dan mempersepsi tuntutan akademik yang diterima sebagai gangguan (Barseli et al., 2017)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline