Lihat ke Halaman Asli

Bidadari Syurga

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1328180926367674027

I

Rasanya mata ini baru saja terpejam ketika tak lama ku dengar suara adzan berkumandang, memanggil setiap hamba Allah untuk bergegas menemuinya. Tapi rasanya aku malas sekali untuk menjejakkan kakiku sejenak ke toilet untuk berwudhu apalagi untuk bergegas menggelar sajadah usangku. Telingaku pun rasanya benar-benar asing dengan panggilan itu. Ku lanjutkan kembali tidurku yang tertunda. Maklum saja semalam seluruh teman kampusku baru berpesta di kosanku, mereka semua bakar sate plus nonton pertandingan bola. Beginilah pekerjaan para mahasiswa yang tak tahu ujung cita-cita mereka mau dibawa kemana.

Lepas jam setengah lima sore, akhirnya mataku bisa juga diajak melek untuk sekedar mandi dan mungkin ku lanjutkan tidurku. Biasanya selepas mandi aku selalu pergi ke balkon kosan untuk menjemur handuk. Tapi kali ini Aku cukup lama di balkon karena jepitan pakaian yang biasa ku pakai tak kunjung kutemui. Tiba-tiba saja ku dengar suara tangis bocah di seberang jalan. Nampaknya anak itu sangat sesegukkan sekali. Tapi peduli sekali aku dengan hal sentimentil seperti itu. Aku lanjutkan kembali mengaduk tempat jemuran untuk mencari jepitan jemuranku. Tak lama ku lihat seorang perempuan berkerudung besar menghampiri anak kecil yang menangis itu.

“Astagfirullah…adek kenapa?” Tanya gadis itu begitu lembut ku dengar. Maklum saja kosanku berada tepat di depan jalan tempat anak itu menangis. Aku sempat memperhatikan perempuan itu sejenak.

‘Anak Mesjid!’ Celetukku dalam hati ketika melihat penampilan perempuan itu.

Tapi perempuan ‘Anak mesjid’ itu lantas saja segera merangkul anak kecil yang menangis itu dan berusaha menghentikan tangisnya. Entah kenapa, aku benar-benar terkesima dengan perhatian perempuan itu. Ku yakin anak kecil itu bukanlah adiknya, karena ku tahu anak kecil itu adalah anaknya Pak Bandi, orang yang tergolong kaya diantara tetangga kosan yang lain. Dan perempuan itu baru saja ku lihat hari ini. Tapi perempuan itu dengan lembutnya menghampiri anak kecil itu dan merangkulnya untuk meredam tangis si bocah itu.

“Kenapa adek…kok nangis?” Tanya perempuan mesjid itu lagi sambil mengelus rambut si bocah.

“Bapak-bapak itu….” Jawab si bocah sambil menunjuk jauh ke arah motor yang juga tadi sempat ku lihat berhenti dihadapan anak kecil itu. Ya, pengendara motor itu sempat memarahi bocah itu yang menghalangi jalan motornya. Maklum saja tempat kosanku berdampingan dengan lokasi komplek penduduk jadi biasalah kalau banyak anak kecil yang sering main sepeda yang terkadang menghalau jalur kendaraan setiap motor yang berlalu-lalang.

“Itu…tadi abis dimarahin bapak-bapak, abis tuh anaknya juga sih maennya sembarangan!” Celetuk si ibu warung nasi, langgananku. Perempuan mesjid itu hanya tersenyum ke arah bocah itu.

“Lain kali…adek maennya hati-hati ya…” Kata perempuan itu begitu lembut dan penuh kasih sayang sambil terus membelai rambut si bocah. “Ya udah…ndak usah nangis lagi, adek lanjutin lagi aja maennya, tapi…jangan ke tengah-tengah jalan sayang, banyak motor yang lewat. Hati-hati ya, mbak mau pulang dulu. Assalammu’alaikum.” Kata perempuan itu, lalu pamit pada si bocah itu ketika tangis bocah itu sudah reda dan ia pun kembali bermain dengan sepeda merahnya.

Perempuan itu dengan sigap melangkahkan kakinya kembali meniti setiap jalan pulang yang dia lalui. Seperti ada magnet yang mengantar kedua mataku untuk terus mengikuti setiap langkah perempuan itu. Ternyata dia bersama satu temannya yang juga berkerudung tapi temannya hanya berkerudung simple seperti perempuan-perempuan lain yang sering ku lihat di kampus.

Lama perempuan itu sudah hilang di balik pohon rindang yang menghalangi jarak pandangku yang terus mengikutinya. Sosoknya begitu mempesona. Dia lembut dan perhatian pada siapapun. Dia juga sepertinya bukan termasuk orang yang melihat-melihat dulu ketika akan menolong. Dia menghentikan tangis bocah itu tanpa dia mengenal bocah itu siapa, padahal ibu warteg langgananku saja hanya diam saat tahu anak tetangganya itu menangis. Jarang ada perempuan seumuran ku mau bertindak sepertinya.

“Woi!!” Teriak Rudi, salah satu teman kosanku, mengagetkanku.

“Anjrit lu!! Apaan sih?” Bentakku, kaget.

“Ngapain lu, semedi bukan di balkon?” Tanya Rudi.

“Jepitan jemuran gue mana?” Tanyaku.

“Haduh…makanya pake mata….nih!” Rudi memberikan jepitan jemuran yang ku cari dari gantungan di pinggir pintu. “Nyari jepitan, apa nyari wangsit lu?!” Ledek Rudi, lantas kembali pergi.

“Brengsek lu!” Bentakku, padanya. Sedangkan langsung berlalu ke dalam.

‘Cewek tadi siapa ya? Apa anak kampus gue juga?’ Pikirku sendiri.

***

Keesokan harinya aku kembali melihat perempuan itu. Langkahnya masih sama saat pertama ku melihatnya. Tangguh dan teguh, namun lembut dan syahdu. Kedua matanya yang selalu tertunduk semakin membuatku penasaran dengan sosoknya. ‘Siapa sebenarnya gadis ini?’ Gumamku.

Hari ini dia berkerudung hijau tua yang tak kalah lebar dan besarnya dengan kerudung hitam yang kemarin dia pakai. Dia juga masih pulang bersama dengan temannya yang kemarin kulihat. Dia juga terlihat sesekali bercanda dan bercerita riang dengan temannya itu. Walaupun sekilas, tapi ku terkagum dengan senyumnya yang terkembang di balik wajahnya yang tertunduk. Tanpa ku sadari aku tersenyum sendiri dengan rasa kagumku itu.

“Kenapa lu?” Tanya Amet, nama panggilan temanku Ahmad. Rupanya aku lupa, aku berada di balkon ini bersamanya yang tengah membicarakan rencana pensi selepas UAS (ujian akhir semester) yang sebentar lagi akan berlangsung.

“Hah?! Kagak…” Kilahku saat terkejut wajah Amet yang heran tepat di depan wajahku. “Balik ke obrolan awal. Gimana tuh rencana pensi?” Kataku, mengalihkan perbincangan.

“Jangan lu alihin dulu deh, tadi….jelas-jelas gue liat lu senyum-senyum sendiri kayak orang gila. Kenapa lu?! Nah…jangan bilang…lu lagi bayangin yang nggak-nggak ya…” Ledek Amet mulai bepikir yang nggak-nggak tentang ku.

“Jangan macem-macem deh lu! Emang gue sebejat itu apa?! Parah lu!” Meninju lengan kirinya.

“Apa…lagi liatin cewek yang tadi lewat?!” Celetuk Rudi tiba-tiba dari sampingku. Aku terkejut karena aku juga ternyata lupa bahwa kami bertiga dibalkon ini. Aku melihat sekilas ke wajah Rudi yang tengah merasa puas telah memergokiku. “Kenapa lu?” Tanyanya atas tatapanku.

“Cewek mana maksud lu?” Tanyaku, berkilah.

“Gue udah dua kali mergokin lu. Jangan salah…gue spy agent nih….” Katanya dengan sombong.

“Sok tahu!” Aku beralih ke dalam kosan dan memilih duduk di depan TV.

“Cewek yang berkerudung gede. Jangan bo’ong deh lu!” Kata Rudi, melanjutkan perkataannya. Ternyata dia benar-benar tahu soal itu. Gawat nih. Ternyata kemarin sebelum mengagetkanku di balkon, Rudi sudah sebelumnya memperhatikan geliat lakuku terhadap perempuan itu.

“Gila lu ya?! Sejak kapan…gue suka merhatiin cewek berkerudung?” Dalihku.

“Iya sih, lu juga. Amel yang tiap hari ngejar-ngejar dia Cuma pake tank-top doang aja nggak dia gubris, apalagi cewek yang ketutup macam cewek mesjid gitu?!” Kata Amet, mengiyakan alasanku. Aku lega sekali dengan tanggapan Amet itu. Berarti aku berhasil mengelabui mereka.

“Siapa tahu?! Yang jelas…gue udah dua kali mergokin lu merhatiin cewek itu!” Tegas Rudi tepat menunjuk wajahku. Aku hanya tersenyum tipis dan pura-pura cuek.

‘Gawat nih kalau anak-anak sampe pada tahu, bisa dikecengin abis-abisan nih gue!’ Gumamku dalam hati, seraya mencari ide untuk tidak ketahuan.

***

“Hai, Bro!” Sapaku pada teman-teman kampusku yang tengah lesehan di samping gedung fakultas. Aku lekas menyusul duduk lesehan bersama mereka.

“Widih…bang Abdi dari mana aja nih, nggak pernah kelihatan lagi di kampus?” Tanya seorang temanku asal aceh yang bernama Adil, dengan logat khas melayunya.

“Biasalah Bang Dil, bapak yang satu ini kan tengah sibuk urusan pensi…” Celetuk Bino, adik angkatanku.

“BTW…iye tuh, pensi dah nyampe mana Sob?” Tanya Tino, si anak betawi asli.

“Udah hampir rampung kok…tenang aja, lu semua juga pasti gue kabari lagi kalau persiapan udah selesei dan kalian tinggal jalani tugas masing-masing deh.” Jawabku.

“Wah…beres tuh Sob. Sante aja lah…sama kita-kita.” Kata mereka semua. Aku termasuk beruntung karena seluruh teman kampusku adalah orang-orang yang solid dan mampu diajak kerja sama. Jadi jika aku si ‘belut kampus’, karena bejibun kegiatanku di BEM dan BLM kampus, mereka masih selalu siap untuk ku mintai bantuannya.

Sedang asiknya mengobrol, tiba-tiba arah kedua mataku seakan mencari seseorang dan dapat. Sosok yang sering sekali ku perhatikan akhir-akhir ini. Namun sudah hampir tiga hari ini sengaja aku tak melihatnya karena jika ku lanjutkan, Rudi akan semakin tahu gelagatku pada perempuan ini. Tapi tumben sekali perempuan ini melalui jalan ini. Rupanya tiga hari tak melihatnya, rasanya seperti mendapat doorprize ketika melihatnya lagi hari ini. Dadaku tiba-tiba saja bergemuruh riang sekaligus tak karuan.

Perempuan ini masih saja anggun, tertutup di balik misteri dirinya sendiri. Curi-curi ku perhatikan dia, aku tak ingin teman-temanku ini mengetahui kekagumanku pada perempuan ini. Tapi sulit sekali untuk acuh pada perempuan ini, rasanya dia adalah magnet untuk kedua mataku. Walau ku tak tahu keberadaannya tapi mataku sudah cepat menangkap kehadirannya. Sepanjang langkahnya pun mataku tak lepas darinya. Kerudung besar berwarna hitam, kaos putih panjang dan rok hitam yang menjuntai. Dia nampak anggun dalam kesederhanaannya.

“Heh!” Lantang Tino, mendorong bahuku. Aku terkejut karenanya. Akupun sadar dari lamunanku.

“Apaan sih?!” Tanyaku. Heran.

“Lu?! Diajak ngomong dari tadi kemana aje…kagak ada nyambungnye…gue ngecuprek aje gitu ngomong sendiri,” Tegas Tino dengan logat betawi kentalnya, kesal padaku.

“Emang lu ngajak ngomong gue?” Tanyaku, polos. Aku sendiri memang tidak sadar kalau sedang diajak biara olehnya.

“Jiaelah nie anak….bikin gue nafsu aje sih!” Kata Tino semakin jengkel.

“Sorry…sorry…gue nggak denger tadi. Kenapa, Sob?” Tanyaku dengan tampang bersalah.

“Ketua BEM kita nih, lagi terpanah asmara Sob, jadi maklumi aja lah…kadang-kadang suka nggak mudeng.” Tegas Rudi di balik tubuhku.

“Apaan sih lu?! Jangan macem-macem deh…” Kataku, tetap berusaha menutupi perasaanku, seraya mendorong tubuh Rudi, namun dia menahannya.

“Sedang fall in love tenyata abang ku ini?!” Kata Adil.

“Nggak-nggak!!” Sergahku cepat, sebelum kabar ini semakin melebar. “Brengsek lu, Rud!” Kesalku pada Rudi.

“Udahlah Sob…cinta itu bukan buat ditutupin, lu transparan aja kali sama yang namanya cinta. Toh entar ketahuan juga. Belum waktunya aja lu ketahuan sekarang.” Tegas Rudi.

“Sama siapa, Di?” Sindir Amet. “Cewek mesjid itu?!” Celetuk Amet yang semakin membuatku jengkel. Ekspresi wajahku pun seketika berubah sangat kesal.

“Terserah apa kata lu deh!” Kesalku, meninggalakan mereka semua menuju ke gedung BEM.

Langkahku nampak gusar dan kesal dengan celetukan dan sindiran teman-temanku itu. Terus saja aku melangkah ke gedung BEM kampus, tepat di tengah-tengah area kampus. Belum sampai kakiku terlampau jauh, mataku kembali menangkap sosok perempuan itu. Dia nampak terlalu tegar dalam langkahnya, beda dengan ku yang saat ini. Langkahnya terlalu tenang dan damai, selalu berhasil membuatku iri dengan langkahnya itu. Rasanya sulit sekali aku mendapatkan langkah seperti itu. Aku terpaku dalam diamku memandangi gerak langkah kakinya yang mengarah ke arah mesjid.

‘Subhanallah…aku baru menyadari segala kelalaianku. Aku ini manusia seperti apa, manusia yang memiliki Tuhan atau tidak aku selama ini. Hidup tak punya arah, tak pernah tertuju. Siapa Tuhanku sebenarnya? Aku hanya manusia paling munafik yang pernah ada. Terakhir aku shalat hari jum’at minggu kemarin, dan hari jum’at itu adalah satu-satunya hari dimana aku terpaksa pergi ke mesjid untuk shalat. Karena selain hari itu, tak pernah sebentarpun waktu yang ku sisihkan untuk menyapa Tuhanku.’ Kataku, dalam hati. Rasanya sesak sekali dadaku ketika melihat perempuan itu melangkah pasti dan tertuju untuk menemui Tuhannya. Mataku pun rasanya panas sesuai hatiku yang ikut bergemuruh.

Aku tertunduk malu pada Allah. Sejak aku di lahirkan, gemuruh adzan berkumandang di telingaku. Tapi kenapa dengan sekarang, ketika dewasa rasanya tak pernah terbersit sedikitpun rasa malu pada Allah. Segala nikmat ku nikmati di bumiNya, segala anugerah diberikan olehNya tanpa memandang hambaNya pernah berdosa atau sudahkah hambaNya itu mengingatNya. ‘Ya Allah…ampuni hamba, Ya Rabb…’ Jeritku. Tanpa ada komando dari siapapun, kakiku terus melangkah, hingga tepat aku berdiri di gerbang depan mesjid. Semilir angin yang meneduhkan pun dapat ku rasakan begitu damainya. Mungkin seperti ini jugalah yang mereka-mereka semua rasakan hingga gemar sekali beramai-ramai memenuhi rumah Allah ini.

Kucuran air keran sedikit-sedikit mulai membasahi setiap jemariku, wajahku dan bahkan menyentuh ke relung hatiku yang teramat sangat tentram dan damai, hingga tak kuasa tangispun buncah bersama jatuhnya air wudhu hari ini.

‘Apa ini yang banyak orang bilang, aku rindu pada Rabbku? Telah lama aku tak menyapaMu, Ya Allah…aku ikhlas hari ini. Aku ridho untuk hari ini. Bismillahirohmannirohim…’ Tegasku dalam hati, melangkah ke dalam mesjid untuk shalat dzuhur berjama’ah.

Shalat pertamaku sungguh nikmat yang ku rasa. Setiap relung hatiku rasanya benar-benar lega dan luas, terhampar rasanya kebahagiaan yang menyeruak dalam dari lubuk hati. Rasanya begitu tenang. ‘Kenapa tak dari dulu Kau berikan hidayahMu ini, Ya Rabb.’ Lirihku. Saat termenung di teras mesjid selepas memakai sepatuku kembali.

“Assalammu’alaikum!” Salam seseorang, mengagetkanku. Aku melihatnya. “Subahanallah…baru gue lihat ketua BEM mampir ke mesjid?” Sindir salah seorang adik angkatanku.

“Gue juga muslim kali, emang kenapa gue di mesjid?” Kataku.

“Nggak Bang…tumbenlah…gue liat abang disini. Ada angin apa Bang?” Sindirnya, lagi.

“Angin puting beliung kali! Gue duluan!” Pamitku, langsung pergi ke gedung BEM.

***

Selepas maghrib, aku mendapat telepon dari teman-teman kampus yang mencariku sejak tadi siang ketika tiba-tiba aku pergi meninggalkan mereka.

“Dimana Sob?” Tanya Tino. “Lu ditanyain Pak Robert tuh, kayaknya do’i penting banget sama lu.”

“Ngapain sih tuh dosen?” Tanggapanku enteng. Pak Robert adalah dosen yang paling tidak aku sukai di kampus, karena dia termasuk salah satu dosen di kampusku yang kredibilat pengajarannya harus banyak dipertimbangkan. Dia terlalu sering mengencani mahasiswanya dibanding berlama-lama mengajar di kelas. Apa itu yang namanya seorang pengajar sekaligus pendidik?!

“Taulah…lu temuin aja dulu dia…terus, lu kita tunggu di aula.” Kata Tifo, lagi.

“Ya udah ntar gue ke sana.” Kataku. Lalu bergegas ke fakultasku setelah shalat maghrib.

“Assalammu’alaikum, Pak!” Salamku padanya di ruangan beliau.

“Hah?! Bapak nggak salah dengerkah itu, bilang apa kau tadi?” Kata Pak Robert dengan gaya bataknya.

“Salam, Pak!” Jawabku, enteng. Sebelumnya aku memang tak pernah serius menanggapi segala ucapannya karena ketidak sukaanku terhadapnya itu.

“Sudah bisa salam kau sekarang?”

“To the point aja deh Pak, ada apa sebenarnya?!” Tegasku.

“Kenalkah kau dengan Amel?” Tanya dosen bajingan ini.

“Amel?! Kenapa emang, Pak?” Selidikku.

“Nggaklah…bolehkah bapak mengenalnya gitu? Rasanya bapak ingin sekali berkenalan dengannya?”

“Terus, kenapa bapak harus manggil saya?”

“Kata temen-temenmu...saya harus ijin kamu sebelum kenal dengan Amel.”

“Bapak dikerjain sama anak-anak. Kalau bapak mau kenal sama Amel, ya kenalan aja, bukan urusan saya. Assalammu’alaikum!” Tegasku, lalu pamit pergi dari ruangannya.

“Gila tuh dosen! Bajingan banget!” Geretukku sepanjang perjalanan menuju aula kampus.

Sampai di aula aku terkejut sekali, ternyata disini banyak perempuan berjilbab besar. Rupanya hari ini sedang ada pengajian keputrian yang sering diadakan setiap hari rabu disini. Dan aku melihat perempuan itu ikut andil disana, dia sepertinya sibuk sekali menjelaskan sesuatu pada perempuan-perempuan lainnya yang duduk mengelilinginya di dalam. Ingin sekali aku melongok lebih dalam lagi agar lebih terlihat jelas sosoknya, tapi aku tak berani takut dia menyadari hal itu dan marah padaku. Makanya aku bergegas pergi dari aula dan menelepon Tifo dengan jengkel karena dia telah mengerjaiku.

“Heh, dimana lu?! Brengsek ngerjain gue! Bilang di aula…aula mana lu?” Gertakku padanya.

“Aula BEM lah…Emang gue ngerjain lu apa?” Jawab enteng Tifo.

‘Astagfirullah…kenapa gue bisa bego kayak gini, kenapa gue datang ke aula kampus?!’ Gumamku, kesal dan lucu sendiri.

“Sorry…sorry…iya, ntar gue ke sana?” Kataku, lalu bergegas ke aula BEM. “Assalammu’alaikum!” Salamku, saat memasuki ruang aula BEM. Semua yang ada di dalam nampak terperangah saat ku memasuki ruangan. Aku lantas duduk mengambil tempat diantara mereka.

“Dari mana lu?” Tanya Amet.

“Dari mesjid.” Jawabku, enteng. Sontak saja, semua mata saling pandang dan bergantian memandangku semuanya secara bersamaan. ‘Oh My God…kenapa gue bilang dari mesjid?! Anjrit!’ Sesalku. Jelas mereka semua natap gue kayak gini.

“Tunggu…tunggu...maksud gue…tadi gue dari UKM seni budaya deket mesjid.” Alibiku kembali bergeriliya menyelamatkan imageku.

“Jangan Bo’ong lagi deh lu! Kita-kita udah tahu semuanya!” Kata Rudi, beranjak dari duduknya. “Semua anak ngadu ke kita, kalau ketua BEM kampus nongkrong di mesjid. Taubat lu?!” Tegas Rudi. Menatapku tajam.

“Ndak dose lah Bang...jujur aje lah…!” Pinta Adil.

“Jujur deh, lu berubah gara-gara tuh cewek, atau kemauan lu sendiri?” Tanya Amet, menyelidiki.

“Lu pada ngomong apaan sih?! Emang salah, kalau gue ke mesjid. Gue muslim Sob!!” Tegasku. “Cewek?! Cewek mana sih yang lu maksud semuanya?” Kataku lagi, masih berdalih.

“Assalammu’alaikum!” Terdengar salam dari arah pintu tiba-tiba mengagetkanku. Dari suaranya sih sepertinya pernah ku dengar tapi entah dimana, suara perempuan. Aku cepat berbalik badan.

“Astagfirullah!” Kegetku bukan main ketika yang ku lihat adalah perempuan mesjid itu. “Lo gila ya semua!!!” Marahku ke semua teman-temanku dan cepat meninggalkan aula. Aku tak lagi menatap perempuan itu dan meninggalkannya dengan tanda tanya besar. Ekspresinya pun terlihat kaget dan shock ketika ku pergi dengan kemarahan besar.

Tak lama ku pergi, Sisi salah satu teman pengurus BEM, menghampiri perempuan mesjid itu yang ternyata bernama Aina Hajar Daniyah.

“Maaf ya, kamu jadi shock gitu. Ada apa ya?” Tanya Sisi baik-baik tentang kedatangnnya ke aula BEM.

“Afwan, kalau ana ganggu acara kalian. Ini kok. Ana hanya sekedar mengantarkan dompet milik akhi Abdi yang mungkin jatuh saat melintas di depan aula kampus. Afwan ukhti, ana pamit kalau begitu. Assalammu’alaikum.” Kata Aina, si cewek mesjid itu bergegas pergi meninggalkan aula.

***

Malam harinya aku benar-benar tak bisa memejamkan mata ini. Entah kenapa aku merasa agak bersalah pada wajah lembut itu yang seketika berubah kaget dan shock saat di aula BEM tadi sore. Aku benar-benar nggak nyangka teman-temanku sampai nekat memanggilnya untuk datang ke BEM. Aku pergi ke balkon untuk menyendiri, tapi rupanya kepergianku itu diketahui Rudi yang bergegas menghampiriku.

“Assalammu’alaikum.” Salamnya.

“Wa’alaikumsalam.” Jawabku. Rudi berdiri tepat di sampingku.

“Lu marah sama kita-kita?” Tanyanya.

“Gue nggak habis pikir, kenapa sih lu semua mesti bawa-bawa tuh cewek?!”

“Cewek mana?”

“Cewek mesjid itu. Kenapa dia bisa datang ke BEM tadi sore?” Tanyaku serius pada Rudi.

“Lu jangan Salah pikir, Di…kita sendiri juga kaget pas tahu-tahu dia datang di depan pintu. Kita nggak pernah ngundang dia ke BEM.” Tegas Rudi.

“Terus?! Ngapain dia?” Heranku.

“Nih!” Memberikan dompetku. “Dia ngembaliin dompet lu yang katanya sih…mungkin jatoh pas lu lewat aula kampus.” Kata Rudi.

“Jadi…bukan lu semua yang nyuruh?!”

“Ya nggak lah…emang kita-kita sejahat itu apa mau nyudutin temen sendiri! Makanya berpikir positif itu penting!” Tegas Rudi.

“Sorry ya Sob, gue kira…”

“Ya udahlah! Nggak usah dipikirin. Yang perlu gue tanyain ke lu nih…lu serius punya hati sama tuh cewek?” Tanya Rudi, langsung membuatku kaget. Aku diam cukup lama. Mungkin ada baiknya kalau aku jujur.

“Nggak salah kan Rud, kalau gue suka sama tuh cewek?!”

“Ya nggak lah…yang salah itu…kalau lu berubah tiba-tiba lu jadi rajin ibadah Cuma buat dapetin perhatian dia! Itu salah besar Sob!” Tegas Rudi. Aku terhentak mendengar ucapan Rudi. ‘Ya Allah…apa benar gue berubah Cuma gara-gara tuh cewek?! Astagfirullah…’

“Apa lu semua berpikir kayak gitu?” Tanyaku.

“Kita Cuma nggak mau berpikir jelek sama temen sendiri. Kita dukung cinta lu sama dia, kita dukung perubahan lu seperti sekarang. Tapi…kita nggak bisa terima kalau lu berubah Cuma buat dan karena tuh cewek. Kita nggak kenal Abdi yang kayak gitu!”

“Pernah lu ngerasain kangen….banget sama seseorang?” Tanyaku serius.

“Ya.”

“Sama siapa, Sob?”

“Bokap gue. Gue bener-bener kehilangan sosoknya dalam hidup gue setelah kejadian kecelakaan waktu itu. Gue kadang kangen banget sama bokap gue, apalagi…saat gue gagal jagain adik gue.” Cerita Rudi mengenai kehidupannya sambil menahan emosi yang meluap-luap. Rudi memang anak pertama dan dia sudah lumayan lama ditinggal Bapaknya yang meninggal karena kecelakaan pesawat setelah dia masuk universitas. Dan belum lagi adiknya yang sempat terjerumus ke dalam pergaulan bebas sebagai pemakai narkoba dan sempat hamil di luar nikah, yang akhirnya adiknya harus menikah dengan pacarnya itu. Tapi pernikahan itu tidak berlangsung lama karena setelah 4 bulan pernikahan adiknya dicerai dan sekarang tinggal bersama ibunya di rumah.

“Sabar, Sob. Allah tidak menguji hambaNya selama hambaNya itu mampu melewati ujian dariNya itu. Insyaallah ujian buat lu itu adalah cara Allah meninggikan derajat lu dibanding hambaNya yang lain.” Kataku, dengan bijak. Entah kenapa semenjak aku mengenal perempuan itu sering sekali aku mengeluarkan kata-kata bijakku yang sudah lama sekali terkubur jauh dalam diriku.

“Amin. Insyaallah.” Ucap Rudi.

“Rasa kangen itu…mungkin sama Sob saat gue nginjekin kaki di mesjid. Jujur, gue kangen Sob sama Tuhan gue. Gue adalah orang yang mengaku beriman tapi nggak pernah sama sekali menyapa Tuhan gue. Gue nggak pernah bersyukur selama ini. Gue nggak pernah anggap Tuhan gue itu ada. Makanya…gue lega banget Sob saat pertama kali gue nginjekin kaki di mesjid, gue ambil air wudhu, terus gue lanjut shalat berjama’ah. Dahsyat Sob. Rasanya semua penat gue itu ilang. Entah kenapa, kalau gue habis shalat, rasanya gue bener-bener tenang…damai sedamai-damainya…dan gue baru sadar, gue tuh bukan siapa-siapa dibanding Dia. Gue Cuma Abdillah, yang katanya seorang hamba Allah tapi tak pernah mengenal siapa itu Allah!” Kataku. Dalam.

“Subhanallah….gue nggak nyangka, Di…ternyata cewek itu bener-bener ngebuat lu tahu arti nama lu sendiri!”

“Maksud lu?”

“Ya. Abdillah itu berarti hamba Allah, dan sedang berusaha memaknai arti nama lu sendiri. Gue bersyukur Sob, Allah telah memberikan hidayahNya buat sohib gue ini. Semangat Sob, gue selalu dukung lu!” Tegas Rudi.

“Insyaallah!” Kataku.

***

Aku sadar tenyata sebuah kejujuran itu lebih indah dibanding mendustai diri sendiri. Setelah ku berikan penjelasan ke seluruh temanku, ternyata mereka semua malah mendukung segala keputusan yang ku ambil. Dan sekarang mereka malah lebih sering ikut denganku untuk shalat berjamaah di mesjid dan bahkan sesekali mengikuti pengajian sore setiap selasa sebelum maghrib. Ternyata sebuah pengenalan yang luar biasa dari bidadari Allah itu. Dia sungguh bidadari yang dijanjikan Allah; “Andaikan ia tampil (muncul) di dunia, pasti semua yang melihatnya di seluruh muka bumi akan beriman kepada Allah Yang Maha hidup lagi Maha Qayyum (Tegak lagi Menegakkan)…” Potongan dari kesimpulan beberapa hadist mengenai bidadari syurga yang disalin dari Kitab Hadil Arwah Ila Biladil Afrah (h.359-360).

*Masih berlanjut sebenarnya....^_^




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline