Lihat ke Halaman Asli

Kaisar Terakhir Cendekiawan Pertapa

Diperbarui: 15 Oktober 2024   21:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ahmad Syafii Maarif yang wafat pada 27 Mei itu seorang pendekar. Setidaknya, Gus Dur bilang begitu pada esainya yang bertarikh 27 Maret 1993, Tiga Pendekar dari Chicago. CHICAGO yang disebut Gus Dur itu disebut Syafii sebagai satu titik kisar penting yang mengubah pandangan dunia pemikirannya. Sebelum periode Chicago, spirit yang dipikul Syafii adalah kerinduan tegaknya negara Islam. la pemamah atraktif pikiran Sayyid Qutb, Maududi, Maryam Jameela. Pendenya, ia seayun dalam satu trek lurus dengan cita-cita pengerek bendera Ikhwanul Muslimin dan Masyumi. Dengan Islam dalam bentuk negara, semua perihal beres.

Kampus Chicago mendepak keluar spirit "politik Islam" itu ketika berjumpa dengan cendekiawan asal Pakistan bernama Fazlur Rahman. Pada sosok itu, Syafii menemukan kepakaran kepada Islam klasik dan sekaligus Islam modern, tetapi kritis terhadap alam kemodernan. Di hadapan Fazlur inilah, penyair Muhammad Iqbal asal Pakistan merasuki jiwanya. Fazlur mengganjarnya dengan nilai A+ atas mata kuliah "Pemikiran Iqbal". Alhasil, Syafii pun boleh dibilang sebagai juru bicara Iqbal Sang Muffakir-e-Pakistan ini di Indonesia. Sepengakuannya, ia nyaris tidak punya teman atas "readings in Iqbal" dengan sumber berbahasa Inggris dan Persia. Perjumpaan dengan Fazlur ini membuka kembali bab lama keterpesonaannya dengan H Agus Salim. Salim, kata Syafii, adalah guru dan sekaligus "Bapak Kaum Intelektual Muslim Indonesia". Berbeda dengan Fazlur Rahman yang tertata dalam menuntut ilmu, Salim melewati jalan otodidak. Namun, keduanya sama, memiliki kemampuan berbahasa asing yang mumpuni. Sama-sama poliglot. Dengan anugerah itu, mereka mengembangkan apa yang disebut dengan "berpikir merdeka".

Corak berpikir merdeka itu yang membawa Syafii pada kontemplasi yang berujung kepada kesimpulan; mereka yang mencita-citakan terbentuknya negara Islam dengan jalan teror tidak lain dari halusinasi politik. Tidak bisa diterima orang-orang yang menjadikan teror sebagai jalan mencari nafkah. Seperti Salim, Syafii melihat wajah umat tidak menolak modernitas, tapi juga tidak kolot yang tidak bisa membedakan mana ajaran Islam, mana budaya Arab. Syafli sangat sering mengutip peristia 1927 bagaimana Salim merobek kain tabir yang memisahkan laki-laki dan perempuan di sebuah rapat Jong Islamieten Bond yang berlangsung di Solo. Saat menyampaikan pidato bertitel De sluiering enafzondering der vrouw, Salim dengan dramatis menarik kain tabir itu. Tentu saja, berpikir merdeka itu tidak mudah dalam praktik. Syafii dihadapkan pada realitas sosial; bukan hanya saat kepulangannya ke tanah air polemik jilbab sedang pasang, juga penentangan yang keras atas pemberlakuan asas Tunggal Pancasila di medio '80-an.

Sebagai manusia Muhammadiyah lahir dan batin, Syafii seperti terkucilkan, sebagaimana kampungnya di Sumpur Kudus yang untunglah, katanya, "Muhammadiyah bisa tersesat sampai ke sana". Muhammadiyah berada dalam pusat ketegangan itu. Syafii yang mash canggung tidak bisa berbuat banyak dalam politik yang memanas. la memilih menjadi pendakwah yang tergabung dalam Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan sekaligus menjadi jurnalis di Suara Muhammadiyah.

Di media Muhammadiyah itu, ia sedikit demi sedikit mengecer gagasan yang dibawanya dari Chicago. Syafii tampaknya tahu diri bahwa ia bukan dua pendekar lainnya yang disebut Gus Dur, yakni Nurcholish Madjid dan Amien Rais. Keduanya senang sekali bikin geger, memancing keributan. Karakter Syafii Maarif lebih cenderung kontemplatif. Kritik-kritiknya memang keras, pilihan katanya tajam. Misal, mereka yang saling sikut dan partisan untuk mendapatkan kekuasaan di Muhammadiyah tidak bisa tidak manusia amoral. Atau, saat mengatakan Kementerian Agama sebagai jawatan terkorup.

Selebihnya, Syafii mengambil porsi menjadi guru. Di Jogja, ia mengajar di IKIP (UNY). la juga menjadi dosen di luar negeri, terutama di Malaysia dan Kanada. Dengan gaji tak seberapa dari kerja perdosenan ini, ia berjuang mendapatkan rumah tinggal dengan cara mencicil atau KPR. Nah, fungsinya sebagai guru di ranah perguruan ini yang selalu mendekatkannya pada anak-anak muda. Lembaga Maarif Institute adalah bukti tak terbantahkan tentang kedekatan dan kehangatan Syafii dengan anak-anak muda Muhammadiyah. Syafii sadar betul, ia bisa saja menjadi dosen dan birokrat sembari menjadi saudagar yang memiliki berhektar-hektar tanah. Tapi, pilihan itu tidak diambilnya. la tahu diri. Seperti halnya Muhammad Iqbal, lalu Agus Salim, hingga Faziur Rahman, Syafii hidup di alam cendekiawan, tetapi bukan di menara gading. la mendayung di antara karier tertinggi akademis (profesor) dan karier tertinggi pergerakan (ketua Muhammadiyah).

Di luar karier itu, ini pilihan berat yang coba diambilnya, dipeluknya, hingga hayat sejarah hidupnya berhenti di hari Jumat, yakni menjadi manusia bersahaja dalam pengertian yang sesungguhnya. Walau, tidak seekstrem yang dilakukan Agus Salim: hidup melarat. Syafii menolak menjadi priayi modern yang serba dilayani manusia lain. Tatkala mash bisa dikerjakannya sendiri, ia tetap melakukan. Termasuk mengantre seperti pasien lainnya di rumah sakit milik persyarikatan di mana ia pernah menjadi pimpinan tertingginya. Syafii Maarif adalah cendekiawan pertapa di mana hulu air jernih pikiran mengalir. la memang seperti nama kampung di Sleman, Jogjakarta, di mana ia berumah dengan cara mengangsur (KPR) sejak 1985: Nogotirto. Sumber air (pikiran) jernih yang melimpah. Rest in love, Buya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline