Bila dulu kaum difabel sering diasingkan dari lingkungan sosial dan pekerjaan, tampaknya hal itu kian terpatakan. Indonesia semakin bergerak menjadi negara yang humanis menyusul sejumlah negara lainnya, sebut saja salah satunya adalah Amerika Serikat yang sudah ramah dalam melibatkan kaum difabel ke dunia kerja sejak lama.
Di sana kita dapat dengan mudah menemukan pegawai (misalnya kasir) yang bisa menggunakan bahasa isyarat. Ya, penutur bahasa isyarat bukanlah hal yang langka di Amerika Serikat. Bahkan bisa dikatakan bahasa isyarat menjadi salah satu syarat tak wajib yang memiliki nilai lebih dalam dunia hospitaliti di sana.
Indonesia? Tentu Indonesia kini tak mau ketinggalan. Semakin banyak kita temukan bisnis hospitaliti dengan pegawainya yang mampu menggunakan bahasa isyarat. Di televisi pun kita sudah semakin familiar melihat ada layar kecil di pojok layar televisi yang menampilkan penerjemah dari bahasa lisan ke bahasa isyarat. Hal ini memperlihatkan bahwa negara kita semakin aware terhadap kaum disabilitas, dalam hal ini bagi teman tuli.
Di media sosial mulai sering kita lihat kaum difabel unjuk gigi memperlihatkan bahwa mereka sama seperti orang-orang lainnya, memiliki daya saing di dunia kerja. Misalnya saja, ada seorang driver ojek online yang merupakan seorang teman tuli (mereka lebih suka disebut 'teman tuli' daripada tunarungu. Tunarungu memiliki kesan kasar).
Driver ojek online tersebut memperlihatkan bahwa meski ia memiliki keterbatasan dalam pendengaran, ia tetap bisa bekerja dan berkomunikasi dengan customernya.
Di Jogja terdapat komunitas ojek yang beranggotakan kaum difabel. Komunitas tersebut bernama Ojek Difa. Keberadaan Ojek Difa memperlihatkan bahwa kaum difabel bukanlah kaum yang boleh dipandang sebelah mata. Keterbatasan fisik tidak menjadi alasan dan hambatan dalam menjadi orang yang produktif.
Beberapa contoh kecil di atas hendaknya menjadi tamparan bagi kita yang masih memandang kaum difabel dengan sebelah mata. Keterbatasan fisik tidak menjadikan diri mereka sebagai pribadi yang rendah, mereka sama dengan kita yang tidak memiliki keterbatasan fisik ini.
Sering kali justru pandangan sebelah mata kita terhadap mereka yang menjadi pembunuh semangat mereka. Mereka juga manusia, seperti orang normal lainnya yang dapat hancur semangatnya bila dipandang rendah.
Balik lagi kepada diri kita semua, bagaimana memanusiakan manusia. Hewan peliharaan saja sering kita manusiakan, mengapa tidak bagi kaum difabel yang jelas-jelas juga manusia, sama seperti kita.
Kesempatan untuk mereka adalah apa yang perlu kita berikan. Sehingga mereka dapat ikut terserap ke dunia kerja, atau bahkan mereka yang dapat membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H