Lihat ke Halaman Asli

Balada Kesejahteraan Guru yang Masih Sendu

Diperbarui: 25 November 2022   16:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: bublikhaus on Freepik

Guru iku digugu lan ditiru

Kelima kata di atas adalah penjabaran akronim guru dalam Bahasa Jawa. Digugu memiliki pengertian dipercaya, sedangkan ditiru adalah dicontoh. 

Dengan demikian, makna guru secara keseluruhan adalah sosok yang dapat dipercaya dan patut dicontoh. Secara lisan memang mudah dikatakan, tetapi pada kenyataannya tidak semudah mengunyah boba.

Mengapa tidak mudah? Anda tentu sudah memahami bahwa guru adalah garda terdepan dalam menjalankan secuil bagian dari amanat UUD 1945. "Mencerdaskan kehidupan bangsa", demikianlah amanat yang diemban oleh seluruh guru yang bernaung dalam lindungan ibu pertiwi. 

Frasa "mencerdaskan" diimplementasikan dalam bentuk transfer ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh para guru, khususnya di sekolah formal. 

Tidak hanya menyampaikan mata pelajaran saja, seorang guru juga turut andil dalam membentuk budi pekerti insan-insan muda. Melelahkan tetapi tetap dilakukan oleh para guru. 

Mulai dari pendidikan dasar hingga menengah, tidak ada yang mudah bagi para guru. Setiap kelompok usia memiliki perilaku khas yang perlu disikapi dengan cermat agar ilmu pengetahuan dapat diserap dengan baik oleh para siswa. 

Para guru juga dituntut untuk selalu mengembangkan diri dengan perkembangan terkini agar para siswa dapat lulus tepat waktu, syukur-syukur jika nilainya memuaskan. Lantas, apakah kesejahteraan guru sudah berbanding lurus dengan tanggung jawab yang diemban?

Ibarat mode rewind di Spotify, isu kesejahteraan guru selalu menguak setiap tahunnya. Anda tentu sudah familiar dengan kisah-kisah sendu para guru, khususnya yang bertugas di pelosok negeri. 

Mari segarkan ingatan Anda dengan beberapa contoh yang bukan cuplikan opera sabun, tetapi kondisi riil di lapangan. Di usia Republik Indonesia yang sudah 77 tahun, ternyata masih ada guru yang hanya memperoleh upah Rp 300.000,- setiap bulannya.  

Masih ada pula yang upahnya diberikan setiap 3 bulan sekali. Bahkan tidak sedikit yang harus menempuh jarak jauh dengan rute off road demi mengajar. Belum lagi kisah-kisah sedih guru honorer yang tiada habisnya bak coffee shop di ruas-ruas jalan.  Memang miris, tetapi itulah faktanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline