Lihat ke Halaman Asli

Suatu Pagi di Stasiun Pasar Senen

Diperbarui: 3 Agustus 2016   22:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kondisi peron 6 Stasiun Pasar Senen, yang sebagian besar tak beratap. Area sebelum anak tangga, tanpa atap. Ketika turun hujan, air mengalir langsung menuju lorong bawah tanah stasiun. Foto: Adriansyah Yasin

Beberapa hari lalu, 21 Juli 2016 tepatnya, saya ke Stasiun Pasar Senen. Bukan sekedar jalan-jalan biasa, tapi memang ada keperluan yang harus diurus. Mengingat hari itu adalah weekday, saya berinisiatif untuk berangkat pagi, demi menghindari kemacetan (baca: penumpang berjubel) dalam commuter line.

Setelah subuh saya sudah berangkat dari rumah. Pukul 4.54 WIB di Stasiun Lenteng Agung mendapatkan kereta jurusan Bogor-Jakarta Kota, saya langsung nyengklak, karena rencana memang tujuan hanya sampai Stasiun Manggarai. Dari Stasiun Manggarai lalu pindah kereta menuju Stasiun Jatinegara.

Sangat beruntung. Begitu turun dari kereta di Stasiun Manggarai, kereta jurusan Bekasi sudah menunggu manis di jalur 4. Setelah menyeberang jalur, saya duduk di kereta pertama khusus perempuan. Kondisi di dalam kereta masih kosong, sehingga bisa dengan leluasa memilih tempat duduk. Setelah duduk, tak sampai 10 menit, kereta pun berangkat.

Keberuntungan selanjutnya. Di Stasiun Jatinegara, ketika turun dari kereta, langsung disambut oleh kereta jurusan Jatinegara-Bogor (atau Jatinegara-Kampung Bandan). Dan tak menunggu lama kereta pun berangkat. How lucky I’am.

Di Stasiun Pasar Senen, turun dari kereta tepat pukul 6.00 WIB. Suasana masih sepi. Hilir mudik penumpang tak terlalu kelihatan. Tak ada aksi penumpang saling adu cepat untuk segera keluar stasiun seperti yang terjadi di Stasiun Tebet atau Stasiun Sudirman. Masih terlalu pagi, pikir saya. Atau memang kebiasaan pagi hari di stasiun besar ini memang begitu. Maklum, saya jarang berada di Stasiun Pasar Senen sepagi itu.

Ketika menuruni tangga mulailah kelihatan ada yang berbeda. Ada jejak-jejak basah yang tidak sedikit. Saya sampai menghentikan langkah untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Setelah sampai di anak tangga terakhir, barulah saya mengerti. Rupanya pada malam harinya di Stasiun Pasar Senen sedang hujan. Air hujan merembes masuk ke dalam lorong bawah tanah. Jejak rembesan air masih terlihat di anak tangga, di kedua sisi lorong. Akibatnya, lorong yang sedianya sebagai pintu masuk dan keluar penumpang Commuter Line tergenang air. 2-3 senti meter lah tinggi genangannya. Lumayan.

Saya pun jinjit menuju gate out untuk keluar dari lorong. Ah, petugas kebersihan belum datang. Akan segera dibersihkan begitu mereka datang. Pikir saya waktu itu. Saya pun naik ke atas untuk keluar dari dari stasiun.

Rupanya keberuntungan saya mulai berkurang. Loket yang sedianya saya tuju ternyata belum buka. Saya bertanya kepada petugas keamanan di sana, jam 7.00 loket akan buka. Ah, masih 45 menit lagi, gumam saya. Saya pun memanfaatkan waktu dengan mengisi baterai hape yang memang mendekati habis. Fasilitas free charging yang disediakan dalam ruang tunggu tersebut cukup memadai, dengan 15 loker kecil. Hanya sayangnya tidak tersedia kuncinya sehingga kita harus stanby di dekatnya. Bersamaan waktu itu ada 4 hape yang sedang mengisi daya.

Sambil tetap mengawasi hape, saya hilir mudik memperhatikan kondisi sekeliling. Ruang tunggu yang cukup dingin itu lumayan ramai. Tapi tidak penuh. Ada serombongan keluarga yang sedang asyik sarapan di ruangan tersebut. Ada juga yang sedang sibuk membeli tiket kereta api online di vending machine atau mesin e-kiosk. Juga saya melihat seorang bapak petugas kebersihan yang hilir-mudik menyapu lantai. Pikiran saya pun berlari ke lorong yang tergenang yang tadi saya lewati.

Pukul tujuh lebih duapuluh menitan, urusan saya kelar. Saya pun melengggang santai menuju arah pulang. Sambil berjalan saya tengak-tengok melihat aktivitas di area stasiun. Selain kondisi stasiun yang terlihat rapi dan bersih, ternyata arus penumpang masih tinggi. Bergerombol orang masih memadati area emper stasiun. Dengan koper, kardus maupun ransel di sampingnya. Banyak yang berombongan, tapi ada juga yang berdua bahkan sendiri. Ah, hawa mudik-balik masih terasa geliatnya.

Lalu dengan santai pula saya memasuki pintu masuk Commuter Line. Aha! Rupanya saya baru menyadari kalau sudah ada pembatas antara jalur penumpang masuk dan penumpang keluar. Meski seadanya tapi saya kira itu cukup membantu. Sehingga arus penumpang menjadi satu arah. Tidak ada situasi canggung tak mengenakkan, dimana penumpang berhadapan lalu salah tingkah mengambil langkah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline