[caption caption="dokpri"][/caption]
*
Oleh: Setyaningrum
Pergi ke pasar, baik itu pasar modern maupun pasar tradisional, tentulah karena ada sesuatu yang ingin dibeli, berbelanja alias shopping, spend money. Atau bisa jadi, tidak berbelanja tapi hanya kurir saja, nganterin ibu atau istri berbelanja. Ujungnya sama aja kan, membeli sesuatu, hehehe.
Nah, hari Minggu kemarin saya niatan mau berbelanja buah. Saya memilih Pasar Induk Kramat Jati sebagai sasarannya. Secara ragam dan jenis pastilah banyak pilihannya, pikir saya. Begitu sampai, langsung saja saya menuju los buah pada pasar tersebut. Mulailah saya berselancar sana-sini, ngobrol sana-sini sama abang-abang penjual buah di sana. Oh, ya, kebanyakan penjual buah di pasar Induk itu laki-laki. Ada yang masih muda, namun umumnya bapak-bapak.
Ngobrol lah saya panjang lebar tentang buah-buahan, baik buah yang saya cari ataupun jenis buah lainnya. Nambah ilmu baru deh pokoknya. Tapi harus tahan polusi udara. Bukan polusi asap, tapi polusi bau. Kalau bau seger seperti mangga kweni sih ndak papa. Dengan begitu banyak jenis dan ragam buah yang datang dari berbagai kota di Indonesia, tentulah ada saja barang masuk yang kondisi sudah tidak segar lagi alias sudah busuk. Di beberapa lorong kios saya lihat beberapa orang sedang menyortir buah jeruk. Kalau posisi kios di bagian pinggir, ya tinggal lempar ke luar kios, langsung ke jalanan area parkir kendaraan. Dan itu dibiarkan menumpuk dan menimbulkan bau. Di bagian tengah los juga ada jalan yang berfungsi sama, area tempat sampah. Beberapa kali saya hampir terpeleset karena buah busuk bergeletakan.
Hampir dua jam saya berkeliling mencari buah yang ingin saya beli, namun tak ada. Tepatnya, ada satu jenis namun tak terbeli karena harus satu kardus seberat 13kg. Sedangkan saya hanya berdua saja, kapan habisnya? Alternative mau membeli jeruk dan mangga, lagi-lagi harus per peti. Urunglah jadinya. Hiks.
Tapi bukan tentang buah ataupun kondisi pasar yang ingin saya ceritakan. Tapi tentang serabi yang saya temui di sekitar los buah Pasar Induk Kramat Jati. Setelah capek menyisir los buah di dalam Pasar Induk Kramat Jati, akhirnya saya keluar.
Setelah mengedarkan pandangan ke sekeliling, barulah mata saya berhenti pada seorang ibu. Lalu mendekatlah saya kepadanya. Ibu tersebut berjualan serabi, dengan sederhana di pinggir jalan, tanpa tempat duduk untuk pembeli. Mejanya pun dari peti kayu bekas buah yang dengan mudah didapat di sekitar pasar, dialasi koran. Sore itu belum banyak pembeli, mungkin saya pembeli pertamanya. Lalu saya pesan setengah porsi, yaitu sebuah serabi. Serabi ditaruh di atas piring kecil dan dikucuri dengan gula merah cair.
[caption caption="dokpri"]
[/caption]
*