Lihat ke Halaman Asli

Cerita Dibalik Secangkir Kopi Liberika Ibu

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1432460083169294063

Oleh Setyaningrum

Ngopi. Mau minumnya di kafe, di pasar, di warung pinggir jalan, atau di rumah, namanya tetap sama, ngopi. Ngopi adalah aktivitas meminum kopi. Hitam pekat maupun coklat warnanya, namanya juga tak berubah, ngopi. Hanya soal rasa yang membedakan. Rasa kopi yang sesungguhnya memang pahit, efek dari proses pemanggangan biji kopi tersebut. Kopi pahit yang berarti tanpa gula, atau manis dengan tambahan gula, karena pengecap orang tentulah berbeda.

Kalau di kampung, orang kampung tidak memanggang biji kopi melainkan menggoreng biji kopi, dalam artian menggoreng tanpa minyak. Mungkin lebih tepatnya menyangrai. Pengalaman menyangrai biji kopi saya tidak memiliki, karena memang belum pernah mencoba sendiri melakukannya. Hanya saja, sering menyaksikan proses perubahan biji kopi mentah siap masak menuju siap seduh.

Berawal dari ibu saya yang penggemar kopi, tapi tidak dengan bapak saya. Bapak lebih menyukai teh dibandingkan kopi. Ketika saya tanyakan alasannya, beliau bilang “ saya tidak membenci kopi, tapi karena dulu pernah sakit dan dokter menganjurkan untuk berhenti minum kopi, makanya memilih minum teh dan berhenti merokok, sampai sekarang.”

Sejak saya masih SD, seingat saya memang bapak tidak pernah minum kopi. Merokok pun sangat jarang, sekalinya merokok paling satu-dua batang kretek saja. Dan hingga saat ini beliau memang tidak menyentuh kopi maupun rokok.

Kembali ke masalah kopi. Sebagian dari kita mengonsumsi kopi bisa dari kopi asli ( bubuk kopi dari biji kopi), kopi instant/sachet siap seduh yang mudah didapat, ataupun kopi kw/kopi jitu. Kopi jitu hanya istilah untuk kopi campuran, kopine siji, jagunge pitu, biji kopinya satu, biji jagungnya tujuh. Unik, ya, seunik rasanya, mungkin. Saya sendiri belum pernah membeli kopi jitu meski saya sering melihatnya di etalase toko kopi.

Jenis dan ukuran kopi. Sumber foto: foodiegurublog.wordpress.com

Meskipun tinggal di kampung, ibu saya mengonsumsi kopi hasil gorengan sendiri. Langganan ibu dulu jenis kopi nongko. Saya sendiri kurang begitu ngerti jenis kopi apa itu, karena setahu saja hanya jenis kopi arabika dan robusta. Setelah browsing barulah saya agak paham. Kopi nongko disebutnya kopi liberika (Coffea liberica). Biji kopi liberika lebih besar, dari biji kopi arabika, kadang mencapai dua kali lipatnya. Yang unik, daun tanaman kopi liberika mengandung kafein lebih banyak dari bijinya. Saat ini, di Indonesia biji kopi liberika ditanam di wilayah Jambi dan Bengkulu.

Ibu membeli kopi mentah di pasar, tidak banyak, seperempat kilo, untuk sekali sangrai. Dan karena harga kopi nongko agak mahal, ibu mengakalinya dengan menambahkan beras pada kopinya. Loh, kok bisa? Iya bisa, ibu saya. He he he.

Untuk seperempat kilo biji kopi, ibu menambahkan segelas munjung beras. Mulanya beras dicuci bersih seperti kalau beras untuk ditanak. Setelah dicuci ditiriskan sampai benar-benar tiris. Demikian pula dengan kopi. Wajan dari tanah atau disebutnya kereweng sudah menunggu di tungku perapian, menanti panas kereweng merata dan siap digunakan. Setelah di rasa cukup panas, beras yang sudah dicuci tadi di sangrai. Beras di sangrai lebih dulu karena proses pematangan beras menjadi matang kekuningan membutuhkan waktu lama, lebih lama dibandingan pematangan biji kopi. Sekitar 30-an menit beras di sangrai, dengan terus mengaduknya. Setelah berubah warna menjadi kuning kecoklatan, barulah kopi di masukkan. Sambil terus di aduk kurang lebih 10-menitan barulah kopi campuran tersebut dituang ke dalam nyiru/tampah. Selanjutnya menunggu proses pendinginan untuk kemudian siap di tumbuk.

Proses menumbuk kopi inilah yang menjadi tugas rutin saya, sejak kecil. Dengan lesung batu dan alu dari kayu hasil buatan bapak, saya menumbuk kopi dan mengayaknya. Sewaktu nenek saya masih ada, kami berbagi tugas. Saya yang menumbuk, nenek saya yang mengayak, karena nenek sayapun peminum kopi.

Saya sebagai anak perempuan selalu yang disuruh membuatkan kopi untuk ibu dan nenek, juga teh untuk bapak. Bila ada tamu yang bertandangpun saya yang membuatkannya. Dua sendok teh bubuk kopi dalam cangkir plus sesendok makan gula dan air panas sudah cukup melegakan hari-hari mereka.

Seiring bergantinya jaman, sekarang ibu saya mendapatkan bubuk kopi dengan lebih mudah, yaitu dengan membeli biji kopi sangrai yang siap giling di pasar. Tidak perlu bersusah payah menyangrai sendiri dan menumbuk sendiri. Juga tidak ada campuran beras lagi, karena yang dijual murni biji kopi.

Setelah dewasa, saya tidak meneruskan rutinitas membuat kopi seperti waktu saya kecil dulu. Saya lebih menyenangi kopi rebus, yang notabene tak se-simple menyeduh kopi siram itu. Membuat kopi rebus tidak bisa ditinggal seperti layaknya kita merebus air. Kalau itu dilakukan maka campuran bubuk kopi dan air tersebut akan meluap dan otomatis mematikan nyala api. Sayang juga, kan, tumpah terbuang percuma.

14324601631765245832

Merebus kopi ala saya. Foto: koleksi pribadi

Dengan merebus kopi, bagi saya, lebih terasa nikmat kopinya. Meski ada yang bilang bahwa dengan teknik tersebut minyak dari kopi akan keluar lebih banyak dan yang tertinggal hanya sensasi pahitnya saja, bukan rasa kopi yang sesungguhnya yang didapat. Tapi itu yang saya suka. Itu cara saya menikmati kopi, dengan tambahan susu.

Tapi kembali lagi ke individunya, kembali kepada selera masing-masing orang. Enak menurut saya belum tentu sama dengan orang lain. Demikian pula sebaliknya, enak dan nikmat menurut sebagian orang, belum tentu enak menurut saya. Kesimpulannya, mari kita ngopi dengan warna dan selera masing-masing. Yuk.

1432460199915329916

Kopi hitam dengan gula dan kopi susu. Foto: koleksi pribadi

Jakarta, 24 Mei 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline