Irigasi merupakan suatu sistem pemberian air pada lahan pertanian. Sebagai sistem irigasi dapat dipecah menjadi input, proses dan output. Input dalam irigasi dapat berupa waduk, bendung, rawa, dan sumur yang berfungsi sebagai pamasok air. Sedangkan proses meliputi bagaimana air yang tersedia dibawa dari sumber ke lahan pertanian, sedangkan outputnya adalah seberapa lama dan seberapa banyak jumlah air yang sampai ke lahan pertanian.
Irigasi ditinjau dari segi sejarahnya telah dikenal sejak jaman mesir kuno, maupun di jaman Mesopotamia sekitar 3000 SM. Di Indonesia kemungkinan sejarah irigasi sudah dikenal sejak abad 5 M, tetapi bukan tidak mungkin sejarah irigasi sudah dimulai jauh sebelum itu. Ingat penemuan situs gunung padang yang berusia lebih dari 5000 tahun yang lalu.
Irigasi yang baik memerlukan pengelolaan yang menyeluruh, mulai dari penciptaan, cara pemeliharaan sumber, pemeliharaan saluran dan pemeliharaan lahan pertanian, juga diperlukan pula langkah-langkah perluasan daerah irigasi. Dasawarsa terakhir menunjukkan, laju kerusakan daerah irigasi lebih besar dari langkah perbaikannya. Keadaan itu menunjukkan semakin lama banyak fihak tidak memperdulikan ketersediaan lahan pertanian, mungkin disebabkan semakin tersedianya akses makanan lain selain komoditas lokal yang selama ini ada, berupa produk makanan impor.
Dampak pemberian irigasi pada suatu lahan pertanian membuat kawasan tersebut lebih banyak menghasilkan bahan pangan pokok sehingga mendorong orang untuk pindah ke kawasan tersebut. Adanya cadangan air yang lebih lama dari daerah lain juga merupakan faktor lain yang menyebabkan orang berpindah tempat. Peninggalan peninggalan kuno menunjukkan bahwa pusat-pusat penduduk dan peradaban terdapat ditepian sungai. Ketersediaan pangan dan air menjadikan kawasan pertanian berkembang menjadi kawasan pertumbuhan penduduk. Selanjutnya pusat pertumbuhan penduduk tumbuh menjadi perkotaan dan menggeser kawasan pertanian produktif. Keadaan ini adalah hal yang alami.
Saat ini pergeseran dan kooptasi lahan pertanian senantiasa terjadi, bahkan di beberapa daerah di P Jawa tidak dapat sepenuhnya dikendalikan. Alih fungsi lahan pertanian harus dikendalikan. Bukankah sumber pangan kita berasal dari lahan pertanian?. Penciptaan lahan pertanian baru mengandung resiko kegagalan yang cukup besar. Rendahnya Return of Investment usaha-usaha pertanian tanaman pangan telah mendorong alih fungsi lahan sawah diluar P Jawa menjadi lahan-lahan perkebunan terutama menjadi lahan kelapa sawit. Fenomena ini perlu segera disikapi dengan baik agar program swasembada pangan dapat di wujudkan.
Untuk menunjang keberhasilan swasembada pangan, kita harus merubah sistem pertanian tanaman pangan nasional. Pembangunan Sistem tanaman pertanian pangan sebaiknya perlu melibatkan pendekatan budaya, menggandeng perusahaan perusahaan, dan pembentukan corporate farming, hal ini perlu dilakukan mengingat pentingnya peningkatan produktifitas dan efektifitas penggunaan lahan pertanian tanaman pangan. Pendekatan budaya perlu diperhatikan dalam membangun irigasi, karena tidak semua suku memiliki budaya utama bertani tanaman pangan, Corporate Social Responsibility pihak perusahaan perlu diarahkan untuk tujuan penyelamatan lahan pertanian dari upaya-upaya konversi menjadi lahan non pertanian tanaman pangan, karena tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pangan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Implementasi mekanisasi pertanian perlu segera dilakukan untuk menjamin adanya tenaga kerja disektor pertanian di luar P Jawa.
Pada akhirnya perlu kita tekankan bahwa program swasembada pangan perlu pendekatan pembangunan swasembada pangan lestari.
(telah diposkan juga di doewit.blogspot.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H