Lihat ke Halaman Asli

Mengejar Target Swasembada Pangan

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14182764241638476019

[caption id="attachment_381963" align="aligncenter" width="630" caption="KOMPAS / HENDRA A SETYAWAN - Ilustrasi beras di gudang Bulog"][/caption]

Selama ini swasembada pangan diidentikan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan konsumsi beras. Jika kita konsisten dengan anggapan tersebut maka sebenarnya Presiden Jokowi tidak perlu bekerja keras untuk mewujudkannya. Berdasarkan data Bapennas dari tahun 2008 s/d 2012 Indonesia surplus produksi beras dengan kisaran 6.24% s/d 14.88% maka kemungkinan besar sampai 2014 Indonesia masih surplus beras. Kondisi surplus beras ini ternyata tidak dibarengi dengan perbaikan infrastruktur pertanian.

Menurut data Kementerian Pertanian KIB 2013, 52% jaringan irigasi mengalami kerusakan. Artinya dengan tingkat kerusakan 52% produksi beras nasional masih dapat surplus. Sedangkan apabila swasembada pangan mengacu pada kemampuan memenuhi kebutuhan pokok selain beras, seperti jagung, gula, dan kedelai, kita masih jauh dari kata swasembada. Komoditas gula dan kedelai tampaknya akan menjadi batu sandungan utama pencapaian target swasembada pangan dalam waktu 3 tahun yang dicanangkan Kabinet Kerja.

Berdasarkan data Bapenas tahun 2012 produksi jagung mengalami defisit yang cukup kecil yaitu sebesar 5,24% bahkan pada tahun 2008 hampir mengalami impas dengan defisit 1,83% artinya dengan perbaikan infrastruktur dan sarana irigasi target surplus komoditas jagung optimis dapat diraih dalam waktu kurang dari 3 tahun. Lalu bagaimana dengan komoditas kedelai dan gula?

Selama 2013 produksi kedelai hanya mampu memasok 38,2% kebutuhan kedelai nasional, sehingga sangat tergantung pada produk impor. Rendahnya produksi kedelai Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor yaitu; produktivitas tanaman kedelai nasional yang masih rendah bila dibandingkan dengan negara lain. Di tingkat negara ASEAN,  produktivitas rata-rata tanaman kedelai Indonesia berada di peringkat masih rendah (2012). Peringkat I produktifitas tanaman kedelai diduduki oleh Philipina dengan produktivitas sebesar 1,89 ton/ha, diikuti Thailand, Kamboja, Lao PDR, Mianmar, dan Indonesia, yang berarti varietas yang dikembangkan oleh Indonesia belum kompetitif bersaing di tingkat ASEAN. Pencapaian swasembada kedelai mungkin tidak akan tercapai dalam waktu tiga tahun. Indonesia baru dapat mencapai swasembada kedelai jika terjadi peningkatan luas area tanam kedelai sebesar 100% dan peningkatan produktivitas tanaman kedelai 1,72 ton/ha, sesuatu yang sulit dicapai dalam waktu 3 tahun.

Bagaimana dengan gula?

Walaupun Indonesia pernah berjaya sebagai produsen gula terbesar dunia pada era hampir seabad yang lalu, tetapi kondisi tersebut tidak bisa dipertahankan, bahkan produksi tebu terus merosot di era Indonesia merdeka. Berdasarkan data tahun 2012 kebutuhan gula nasional mencapai 4,078,000 ton dengan kemampuan produksi sebesar 2,345,000 ton atau sebesar 58%. Peningkatan produksi gula akan terkendala oleh penyediaan lahan dan sarana irigasi, karena penanaman tebu memerlukan waktu 3 kali dari produksi padi, sehingga apabila lahan padi diganti untuk tanaman tebu maka akan mengurangi produksi padi.

Berdasarkan pengalaman di Jawa, petani enggan menanam tebu karena lama panen yang panjang, sehingga peningkatan produksi gula nasional sebaiknya diarahkan ke luar Jawa dan dikerjakan oleh perusahaan. Permasalahannya adakah perusahaan yang mau membangun industri gula dengan sekaligus membangun sarana irigasi yang baik. Di lain pihak rasanya pemerintah tidak akan membangun prasarana pertanian dikhususkan untuk perusahaan. Dari kondisi tersebut rasanya program swasembada gula sulit tercapai dalam waktu tiga tahun.

Target swasembada pangan rasanya sulit dicapai dalam waktu 3 tahun, tetapi semangat memperbaiki sarana prasarana produksi pertanian melalui perbaikan dan pembuatan sarana irigasi sudah selayaknya kita apresiasi, tetapi jangan lupa untuk ikut mengawasi, karena pembuatan dan perbaikan jaringan irigasi adalah menanam investasi kedalam tanah dan air yang sulit diamati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline