Ditulis
Oleh: Nina Arman Kosasih
Negeri yang lucu.
Itulah frasa yang saya pilih untuk menggambarkan situasi yang terjadi beberapa hari belakangan ini terkait diskusi tentang industri penyiaran tanah air.
Yang membuat gelak bukan siarannya, tapi oknum Komisi Penyiaran Indonesia Daerah DKI Jakarta (KPID Jakarta), Tri Andri Supriadi. Tri Andri seharusnya memastikan industri penyiaran Tanah Air tumbuh dan berjalan sehat. Namun yang terjadi, Tri Andri berpihak kepada kelompok yang menjadi tempat berlindung sejumlah operator TV kabel nakal.
Kenapa saya katakan nakal?
Karena sepanjang informasi yang saya peroleh, sejumlah operator TV kabel nakal sudah diproses polisi karena operator itu memungut biaya langganan kepada konsumen untuk menikmati layanan mereka berupa siaran tanpa ijin dari Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) sebagai pemegang hak cipta.
Lantas mengapa Tri Andri disebut melanggar UU Penyiaran?
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sudah mengamanatkan tugas, kewajiban, fungsi dan wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dalam pasal 8 ayat 3(c) undang-undang tersebut jelas disebutkan, bahwa tugas dan kewajiban KPI termasuk menjamin persaingan yang sehat.
Nah dalam konteks ayat 3(c) itu saya merasa perlu menyampaikan informasi ini kepada publik, bahwa Tri Andri sudah berkomplot dengan operator TV kabel ilegal, yang selama ini merugikan industri dan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) karena mereka mencuri siaran untuk dijual kembali kepada masyarakat. Ini berarti Tri Andri tidak menjamin terjadinya iklim persaingan yang sehat.
Mengapa Tri Andri disebut berkomplot?
Bagi Anda yang belum tahu, Tri Andri menghadiri acara diskusi yang digelar oleh Gabungan Operator TV Kabel Indonesia (GOTV). GOTV ditunggangi oknum anggotanya yang selama ini melakukan distribusi siaran berbayar secara ilegal.
Dalam diskusi itu, Tri Andri yang banyak dikutip media, menyebutkan pelaku industri media melakukan praktek monopoli siaran. Padahal, monopoli yang dimaksud adalah upaya LPS untuk mempertahankan hak intelektual dan hak cipta atas program-program yang tayang melalui FTA. FTA adalah Free to Air, yang bermakna siaran dapat ditangkap secara gratis melalui antenna biasa.
Sementara di sisi lain, GOTV menilai FTA berarti free, yang dalam bahasa Indonesia dapat bermakna gratis, sehingga para operator ilegal itu berpendapat mereka bebas sesuka hati menjarah program-program siaran LPS melalui FTA, sehingga mereka boleh menjualnya kepada pelanggan mereka.
Itulah sebabnya, saya pribadi menilai Tri Andri telah melanggar banyak etika dan filosofi Undang-undang Penyiaran. Dan motif di balik sikap Tri Andri, yang pasti sepak terjang oknum anggota GOTV selama ini yang mencuri program LPS, telah membuat kehidupan industri penyiaran tidak sehat.