Bagi para pekerja, bicara soal kesehatan mental di ruang lingkup pekerjaan itu problematik sekaligus dilematis.
Sebab, akan selalu ada momen menyebalkan ketika seorang pekerja sudah mengumpulkan keberanian untuk bicara secara terbuka mengenai persoalan yang sedang dihadapi kepada atasan atau rekan kerja lainnya.
Komentar seperti, "Ngapain, sih, sampai kayak gitu?", "Bukannya bersyukur masih bisa kerja, malah kebanyakan ngeluh," atau yang paling parah, "Lemah banget, gitu aja langsung stres dan mumet." Pasti sudah familier didengar di lingkungan sekitar kalian, kan? Niat mau curhat, malah dihujat.
Kalaupun mau dipendam, rasanya bikin sesak dan bukan solusi. Sebab, di sisi yang berseberangan, butuh stress release melalui bercerita dengan rekan kerja atau kerabat.
Melalui Womenlead Magdalene, survei yang dilakukan oleh Indonesian Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) pada Desember 2020, sebanyak 38 persen karyawan di Indonesia mengalami kesehatan mental yang memburuk.
Masih dalam survei yang sama, ada temuan lain mengenai masalah kesehatan mental berdasarkan usia. Sebanyak 24 persen kelompok pekerja berusia 45-60 tahun mengalami dampak negatif pandemi bagi kesehatan mentalnya. Sedangkan kelompok pekerja berusia 25-34 tahun mencapai 49 persen.
Berdasar pada survei tersebut, komentar akan generalisasi generasi tertentu yang katanya rentan stres, menjadi tidak relevan lagi. Sebab, berapa pun usia seseorang, siapa pun itu, menghadapi dinamikanya masing-masing.
Survei dengan hasil yang tak kalah menarik pun dilakukan oleh Michael Page. Melalui dataindonesia.id, sebanyak 68 persen pekerja Indonesia rela korbankan gaji, promosi, atau bonus demi mendapatkan kondisi kesehatan mental, kebahagiaan, dan kesejahteraan yang lebih baik.
Survei tersebut memberi gambaran bahwa, saat ini, sebagian pekerja mulai aware soal kesehatan mental di ruang lingkup pekerjaan masing-masing.
Namun, perlu disadari juga bahwa, di sisi lain, kesehatan mental masih menjadi pembahasan yang cukup tabu di dunia kerja. Lantaran, sebagian perusahaan, atasan, atau rekan kerja melihat para pekerja yang merasa butuh bantuan profesional untuk masalah psikologis yang dialami, masih bisa bekerja seperti biasanya.