Lihat ke Halaman Asli

Seto Wicaksono

TERVERIFIKASI

Recruiter

Menghadapi Toxic Positivity: Niat Memahami Orang Lain kok dengan Cara Menghakimi?

Diperbarui: 4 Januari 2020   13:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi para remaja sedang berdiskusi. Sumber: vebma via hipwee

Sewaktu kuliah, salah satu dosen saya pernah menyampaikan bahwa, "jadi seseorang yang mahir berbicara memang baik, tapi menjadi pendengar yang baik pun sama baiknya".

Saat itu, beliau sedang menyampaikan tentang bagaimana saat ini banyak orang berlomba-lomba untuk diperhatikan lewat gaya bicaranya masing-masing dan bagaimana dia dapat memengaruhi seseorang, baik secara langsung atau media. Namun, melupakan satu hal yang penting, banyak orang yang saat ini butuh didengar, bukan hanya mendengarkan.

Hal tersebut juga diperparah dengan semakin banyaknya orang yang lebih mudah menghakimi dibanding mendengarkan secara utuh keluh kesah orang lain lebih dulu. Selain itu, jika ada orang yang sedang dalam masa sulit lalu bercerita, tak jarang pula lawan bicara malah membandingkan sekaligus membanggakan diri sendiri secara halus dengan dirinya saat berada di posisi yang sama.

"Oh, jangan salah, gue juga pernah ngalamin hal kayak gitu, malah gue lebih parah dari elu", begitu kira-kira.

Alih-alih memberi motivasi, lawan bicara malah membuat orang yang ingin bercerita tentang keluh kesahnya merasa rendah diri karena dianggap masalahnya sepele dan seharusnya bisa di-handle dengan baik.

Ketahuilah, banyak orang yang pada dasarnya hanya ingin berbagi cerita, ingin didengar ceritanya secara utuh tanpa meminta atau harus diberi saran. Ada pula orang yang ingin meminta bantuan, namun seringkali sungkan. Jadi, penghakiman secara sepihak tanpa mendengar lebih dulu tentu tidak adil.

Hal demikian sudah seringkali terjadi di dunia nyata maupun dunia maya, bahkan jauh sebelum kata toxic positivity menjadi trending di Twitter beberapa waktu lalu.

Menjadi sosok yang positif jelas baik, namun jika terlalu positif sampai dengan mengabaikan perasaan tentu tidak dibenarkan. Karena setiap orang butuh untuk melampiaskan segala bentuk emosinya.

Cara termudah adalah dengan bercerita, dan tugas lawan bicaranya adalah memberi dukungan, mendengarkan, dan memahami apa yang sedang dialami orang lain. Akan tetapi, tidak semua orang peka terhadap hal demikian.

Menyampaikan kalimat, "coba liat keluar, deh, banyak yang lebih kurang beruntung dibanding kamu" atau "aku udah ngalamin yang lebih parah dari kamu dan berhasil, kok" tidak akan memberi ketenangan dan kenyamanan pada seseorang yang sedang butuh didengar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline