Setelah pada tulisan sebelumnya saya bercerita tentang ketidaksiapan para kandidat pada saat wawancara kerja, kali ini saya akan bercerita soal keresahan saya dalam menghadapi para pencari kerja, khususnya mereka yang tergolong sebagai generasi milenial. Saya sendiri berprofesi sebagai perekrut junior.
Sebagai gambaran, menurut beberapa ahli, generasi milenial adalah individu yang lahir dalam rentang tahun 1980-2000 (ada pendapat lain, 1980-1997). Kurang lebihnya demikian.
Saya sendiri pernah mengikuti seminar tentang generasi milenial dalam dunia kerja. Dijelaskan ketika itu, anak milenial ini memang tergolong pintar namun sulit diprediksi. Saya mengalami hal ini. Pada saat wawancara, saya baru bertanya tentang bagaimana gambaran dirinya, dengan santai dan polosnya dia jawab,
"Pak, menurut teman saya, kalau wawancara kerja ga perlu jujur banget, bohong aja sedikit, ga apa-apa, katanya."
Kenapa kandidat ini amat sangat jujur, ya?
Pada kesempatan lain, selalu ada kandidat yang membuat saya antusias. Kandidat ini mengaku suka membaca. Dalam bias saya, orang yang suka baca itu biasanya punya wawasan yang luas. Sekali lagi, dalam bias saya. Percakapan kami,
"Oh, Mba suka baca buku. Kalau boleh saya tahu, buku bergenre apa?"
"Saya suka baca, Pak, tapi bukan baca buku."
"Lho? Terus baca apa, Mba?" tanya saya yang mulai bingung.
"Saya suka baca update status orang, Pak. Di Twitter, Facebook, WhatsApp, pokoknya sosmed, termasuk Instagram."