Lihat ke Halaman Asli

Seto Permada

Penulis Konten

Kota Kata

Diperbarui: 27 September 2017   14:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: Pixabay

Gelombang radio butut memunculkan suara yang keras. Mendenging. Lalu berubah jadi suara berat laki-laki dengan tangga nada bariton. Parmin meloncat, tapi tak mengumpat apa-apa, karena kata-kata telah dilarang di dalam negara Westo ini sejak Presiden menjabat tiga tahun lalu. Hanya orang-orang yang memiliki kekuasaan publik saja yang boleh mengeluarkan kata-kata.

"Selamat malam, Pemirsa. Kembali bersama di gelombang Radio Kata-kata yang tinggal satu-satunya di negara Westo ini. Sekilas info. Kemarin Pak Mendagri menghubungi kantor kami. Ini pengumuman penting, mohon disimak baik-baik, tapi jangan sekali-kali mengeluarkan kata-kata. Karena akan selalu ada yang mengintai kebebasan kalian.

Pak Menteri bilang, mulai hari Senin besok, seluruh orang Westo dilarang menggunakan kata-kata, termasuk Presiden dan awak-awak pemerintah. Sebab, Presiden sudah bosan mendengar kata-kata dari sesama. Kata-kata yang selalu sama dari hari ke hari. Tidak ada kebaruan. Ia lebih senang membaca daripada berbicara. Jadi catat, ya. Mulai Senin besok, tidak ada yang akan mengeluarkan kata-kata, termasuk juga aku tentunya.

Besok adalah hari Minggu. Pak Menteri juga berpesan, hari Minggu itu seluruh penduduk Westo boleh berkata-kata. Hanya untuk hari itu saja. Hari terakhir kita!

Jadi pergunakan kesempatan baik-baik.

Oh, iya. Belum usai kilasan info ini. Presiden juga ingin mengadakan sayembara, atau lebih berwujud tantangan kepada siapa saja yang mampu menemukan satu kata yang benar-benar baru. Belum ada di dalam kamus bahasa, ensiklopedia, atau pun pemikiran orang-orang kuno. Jika ada yang bisa menemukan satu kata baru itu, maka perintah berhenti berkata-kata akan dicabut. Dan kepada orang itu, ia berhak menggantikan kedudukan Presiden dari tahtanya.

Selamat Malam. Selamat malam Minggu. Persiapkan diri kalian menuju sayembara. Untuk yang dekat dengan Istana Kepresidenan, bisa langsung datang dan mengikuti sayembara. Sedang untuk yang berada di luar istana, boleh kirimkan rekaman suara lewat nomor telepon yang akan kami bacakan di akhir lagu nanti. Mari selamatkan kata-kata yang sudah lama terbelenggu!

Kami akan memutar lagu Celoteh Burung Camar Tolol alias Tampomas* untuk menemani akhir pekan Anda.

Selamat mendengarkan."

Parmin mondar-mandir seusai mendengar sekilas info. Ia sangat paham keadaan negeri ini. Presiden gendheng, kutuknya. Selama tiga tahun itu, kehidupan ekonominya merosot tajam. Tanpa bicara, istri dan kedua anaknya ngacir jauh-jauh. Istrinya meninggalkan secarik surat ketika Parmin masih di luar membeli sepotong tempe goreng. Rencananya tempe itu akan dipotong-potong menjadi empat bagian untuk melapisi menu makanan.

Mas, aku tidak tahan, maafkan aku dan anak-anakmu kalau kami pergi hanya meninggalkan surat ini. Karena kalau kita bicara baik-baik, para pengintai itu akan menembak kita. Aku tidak mau. Aku ingin hidup, sedangkan tiang ekonomi kita sudah hampir roboh. Maafkan aku dan anak-anakmu, Mas. Kami sudah tak sanggup menjalani hidup melarat denganmu. Kami akan mencari lelaki yang lebih besar dan kuat. Tentu lebih kuasa di atas publik dan sanggup berkata-kata banyak, serta banyak uang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline