Pertanian menjadi salah satu sektor terpenting bagi keberlangsungan kehidupan suatu negara. Indonesia dijuluki dunia sebagai negara agraris (Jumadi,2019). Julukan tersebut diberikan karena tanah di Indonesia subur sehingga sebagian besar masyarakat di Indonesia bekerja disektor pertanian. Menurut data kementrian pertanian pada tahun 2017 menunjukan bahwa jumlah tenaga kerja sektor pertanian berjumlah 36.956.111 jiwa (Arvianti et al.,2019:169). Sejarah perkembangan dan pembangunan pertanian di Indonesia sudah dimulai digencarkan ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Namun, pencapaian pembangunan pertanian di Indonesia secara struktural belum mengalami perubahan yang berarti (Pranadji, 2008:223).
Sektor pertanian di Indonesia sendiri saat ini belum mampu untuk menghadirkan keswasembadaan terhadap pangan. Hal tersebut diakibatkan oleh berbagai faktor mulai dari lahan,teknologi hingga sumber daya manusia. Penyempitan lahan pertanian akibat keperluan industrialisasi atau alih fungsi lahan membuat lahan pertanian menjadi kian terbatas.
Melansir data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik menunjukan bahwa telah terjadi penyusutan lahan pertanian yang semula pada tahun 2017 seluas 7,75 juta hektare menjadi 7,1 juta hektare pada tahun 2018 (CNN.Indonesia). Selain itu, sebagai negara berkembang tingkat teknologi sangat rendah dan tidak efisien (Damanhuri,2010:6).
Kondisi tersebut membuat biaya produksi pertanian menjadi tinggi dan hasilnya tidak optimal (Jumadi, 2019). Sumber daya manusia atau SDM yang bekerja di sektor pertanian mayoritas tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk menerapkan dan menggunakan teknologi terbarukan karena 73,97% hanya menempuh pendidikan SD (Arvianti et al.,2019:169). Beberapa faktor tersebut membuat sektor pertanian di Indonesia mengalami keterbelakangan dan kesulitan untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri termasuk keperluan akan kedelai.
Kedelai sendiri menjadi salah satu komoditas terpenting setelah padi dan jagung (litbang.pertanian). Kedelai banyak dimanfaatkan untuk membuat berbagai macam produk olahan, seperti tahu,tempe,kecap,tauco dan lain sebagainya. Kedelai mengandung protein nabati yang tinggi sehingga produk olahan dari kedelai menjadi primadona masyarakat di Indonesia. Cita rasa dan manfaat dalam kedelai juga menambah nilai permintaan masyarakat atas kedelai.
Saat ini pemenuhan kebutuhan konsumsi kedelai dalam negeri dilakukan dengan menerapkan kebijakan impor yang dijadikan sebagai langkah alternatif yang diambil pemerintah untuk menutup kesenjangan produksi dan konsumsi kedelai di Indonesia. Data Kementerian Pertanian (2021) menunjukkan bahwa pada tahun 2015-2020, Indonesia hanya mampu memenuhi kebutuhan kedelai dari produksi 9,15% dari total kebutuhannya. Sementara itu, laju pertumbuhan produksi kedelai dalam negeri dalam 5 tahun terakhir cenderung terus menurun, yaitu 15,54% setiap tahunnya.
Badan Pusat Statistik (2022) melaporkan bahwa pada tahun 2021 Indonesia mengimpor kedelai sebesar 1,48 miliar USD dengan volume 2,48 juta ton. Angka impor pada tahun 2021 meningkat sebesar 47,77% dari tahun 2020 yang bernilai 1 miliar USD. Importir kedelai terbesar Indonesia adalah Amerika Serikat dengan nilai 1,28 miliar USD pada 2021. Posisi kedua diduduki oleh Kanada dengan nilai impor kedelai sebesar 135,89 juta USD. Argentina menduduki posisi ketiga dengan nilai impor kedelai 52,08 juta USD. Situasi ini menjadi lampu merah bagi Indonesia karena jumlah impor terhadap kedelai sangat tinggi.
Kebijakan impor kedelai di Indonesia berdampak negatif karena berpotensi membahayakan sektor-sektor pertanian dan industri kedelai dalam negeri akibat rendahnya harga kedelai impor (Nasution, 2022). Harga jual panen petani yang semakin rendah dan harga pasaran kedelai lokal yang tidak dapat bersaing dengan kedelai impor mengakibatkan petani berpindah ke komoditas lain yang lebih menguntungkan. Faktor-faktor terjadinya impor kedelai di Indonesia disebabkan beberapa hal sebagai berikut; Pertama, rendahnya hasil produksi kedelai lokal. Berdasarkan Survei (BPS, 2021), rata-rata hasil kedelai nasional pada tahun 2020 adalah 15,69 kuintal/hektare. Menurut data Kementerian Pertanian, pada 2019 hanya tersedia sekitar 285.000 hektare lahan kedelai dari 2,5 juta hektare lahan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan kedelai. Kedua, murahnya harga kedelai impor dibandingkan dengan harga kedelai lokal di pasaran. Kedelai US dan Brasil dihargai Rp 5.000/kg, sementara harga kedelai lokal mencapai Rp 8.500/kg. Biaya produksi yang tinggi membuat petani lokal hanya mendapat untung kecil. Ketiga, teknologi yang digunakan masih tradisional. Kedelai lokal diproduksi dengan menggunakan benih alami dan non-transgenik, tetapi kedelai yang diimpor berasal dari genetically modified organism (GMOs) atau GMO (Gunawan, 2019).
Teori yang diduga digunakan oleh negara dalam permasalahan impor kedelai adalah teori faktor proporsi dari Heckscher dan Ohlin. Teori tersebut menjelaskan produktivitas perdagangan internasional di setiap negara berbeda disebabkan oleh perbedaan proporsi faktor produksi yang dimiliki oleh setiap negara sehingga terjadi perbedaan harga barang yang dihasilkan. Teori Heckscher-Ohlin mengungkapkan bahwa negara yang kaya terhadap faktor produksi akan melakukan ekspor ke negara yang kekurangan faktor produksi (Yuni dan Hutabarat, 2021). Sebaliknya, negara dengan faktor produksi yang rendah akan melakukan impor kepada negara dengan faktor produksi yang besar.
Penulis menggunakan teori ketergantungan dari A. G. Frank dalam melihat permasalahan ketergantungan impor. Frank (1984) mengklasifikasikan negara-negara menjadi negara-negara satelit yang terbelakang (satellite underdeveloped countries) dan negara-negara metropolis maju (developed metropolitan countries). Negara-negara metropolis dunia membutuhkan negara-negara miskin sebagai kelompok satelit (pinggiran) untuk mempertahankan kekayaan mereka. Hubungan negara metropolis dan negara satelit terjadi antara negara maju dan negara berkembang di dunia (Digdowiseiso, 2019). Hubungan antara kedua jenis negara tersebut menimbulkan ketergantungan yang bersifat monopolistik. Negara-negara metropolis mempunyai kuasa atas kontrol monopolistik yang dominan terhadap hubungan ekonomi dan perdagangan di negara-negara satelit. Dominasi monopolistik dalam negara-negara metropolis berdampak adanya ketidakmampuan negara-negara satelit untuk mengontrol pertumbuhan ekonominya dan terciptalah ketergantungan dalam hubungan tersebut (Deliarnov, 2006).
Analisis penulis menggunakan teori ketergantungan dari A. G. Frank menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara satelit bergantung terhadap komoditas kedelai milik negara-negara metropolis seperti Amerika Serikat dan Kanada. Hal tersebut disebabkan karena negara-negara metropolis sebagai negara maju memiliki kemampuan dalam melakukan pengelolaan lahan pertanian yang mereka miliki dengan baik.