Lihat ke Halaman Asli

BNI 48: Penggerak Ekonomi Pasar Tradisional

Diperbarui: 18 Juni 2015   09:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Mungkin bagi sebagian besar Kompasioner yang sering ke pasar tradisional tidak asing dengan pemandangan ini. Biasanya ibu-ibu walaupun banyak juga yang bapak-bapak, membawa buku kecil di tangan kiri dan pulpen siap untuk nulis di tangan kanan, mengalungkan sling bag kecil melingkar di perutnya dan dengan gesit menghampiri para pedagang yang jadi nasabahnya. Ada yang  menyebut mereka bank titil, bank plecit karena kredit yang mereka layani kredit kelas super kecil, biasanya mulai Rp. 50.000,- sampai Rp. 2.000.000,-. Ada juga yang menyebutnya bank Subuh karena operasionalnya bersamaan dengan kumandang Adzan Subuh saat pasar pagi tradisional mulai aktivitasnya, atau ada juga yang menyebutnya Bank ucek-ucek, mungkin karena nasabahnya baru saja ucek ucek mata sudah dihampiri sama mereka. Bahkan ada yang memplesetkan  dari BNI
46 menjadi BNI 48 untuk menyebut mereka, kalau yang ini alasannya mungkin karena kalau kita pinjamnya 4 kita harus mengembalikannya menjadi 8. Apapun istilahnya yang sebagian besar berkonotasi mengejek atau menyepelekan, tapi kehadirannya benar-benar dibutuhkan dan banyak penggemarnya.
Sistem kerjanya yang sederhana, tidak berbelit-belit, tanpa jaminan dan benar-benar hadir di saat yang tepat saat dibutuhkan, membuatnya menjadi primadona dan penggerak kegiatan berdagang para pedagang. Bandingkan dengan bank umum atau BPR yang terlalu banyak syarat dan ketentuan yang harus disepakati. Mulai dari ketersediaan jaminan, prosesnya yang lama, adanya BI checking, dan administrasi berbelit-belit yang kadang susah dan bikin malas untuk dipenuhi. Belum lagi harus bolak balik ke kantor bank yang itu berarti harus meninggalkan tempat dagang dan nambah ongkos perjalanan. Cukup dengan foto copy KTP dan menyebutkan jumlah yang mau dipinjam, saat itu juga para pedagang langsung menerima uangnya. Perkara besok angsuran yang harus dibayarkan mahal  itu urusan nanti. Saya pernah ngobrol dengan pedagang nasi yang baru saja mengambil kredit, beliau bercerita kalau pinjam misalnya Rp. 100.000,- nerimanya Rp.90.000, besoknya sudah mulai mengsngsur Rp. 10.000,- sebanyak 12 x selama 12 hari. Sekilas memang tinggi, namun kata bapak pedagang nasi tadi, uang itu kalau dibelanjakan buat modal nasinya, untuk mengembalikan  pinjaman tadi tetap masih sisa. Usaha tetap jalan, anak-anak bisa bayar sekolah, nyumbang ke kondangan juga bisa. Masih kata bapak tadi, hampir sebagian besar pedagang di pasar tempatnya berjualan punya pinjaman di bank titil. Seperti alasan di atas masalah kemudahan menjadi alasan utama mereka lebih memilih pinjam di bank titil daripada di bank umum.
Memang secara bank umum, pembiayaan dalam jumlah kecil sangat tidak menguntungkan, biayanya terlalu tinggi. Mereka pasti lebih memilih memiliki nasabah dalam jumlah yang kecil namun dalam jumlah plafond yang tinggi. Sebenarnya ada Bank Pasar dan BKK yang dulu didesain untuk memfasilitasi kegiatan ekonomi golongan ini. Tapi kalau kita lihat sekarang, kedua lembaga itu sudah lebih berkonsentrasi ke profit oriented, mereka murni mencari laba. Kredit mereka justru sekarang banyak yang menyasar ke sektor konsumsi dengan memberikan kredit kepada para PNS
atau pekerja yang mempunyai penghasilan tetap. Keperbihakan ke pedagang kecil bisa dikatakan tidak ada. Mereka mencari praktis dan untungnya saja. Memang dengan bentuk usaha mereka yang menjadi Perusahaan yang dituntut memaksimalkan laba bisa menjadi alasannya. Tapi memang tidak ada cara lain dari pemerintah selain  membiarkan usaha ekonomi rakyat kecil ini digerakkan oleh bank jenis BNI 48 ini?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline