Lihat ke Halaman Asli

Angkringan dan Sego Kucing Telah Menyatukan Warga Yogyakarta

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_142493" align="aligncenter" width="508" caption="gambar angkringan dari Google"][/caption]

Jika anda berkunjung ke Yogyakarta, mulai jam 17.00 wib akan sangat mudah menjumpai warung rakyat yang akrab disebut sebagai angkringan. Di sepanjang jalan utama sampai ke gang-gang kecil, anda melihat angkringan berada di trotoar dan lokasi-lokasi khas rakyat. Seakan angkringan telah menjadi simbol egaliternya masyarakat Yogyakarta. Warung ini buka hingga menjelang Subuh.

Angkringan adalah sebuah gerobak panjang terbuat dari kayu, dengan tenda terpal sebagai atap. Di bagian depan dan sisi samping angkringan disediakan kursi kayu panjang untuk tempat duduk para pembeli. Kursi kayu bagian depan ini paling hanya muat untuk menampung empat orang, sedangkan kursi bagian samping hanya menampung dua orang saja.

Jangan khawatir, saat pengunjung banyak, disediakan pula tikar yang bisa digelar dimanapun anda suka. Jika angkringan berada di sebuah trotoar, tikar bisa digelar di sepanjang trotoar tersebut, terserah anda memilih tempat yang paling nyaman. Jika angkringan berada di sebuah tanah lapang, seperti alun-alun atau lapangan Kepatihan, maka tikar bisa digelar di tanah lapang tersebut. Silakan pilih ruang yang kosong dan nyaman.

Di satu sudut gerobak angkringan, selalu terdapat tiga lubang perapian untuk memanaskan tiga teko, satu berisi air putih, satu berisi wedang jahe, dan satu berisi teh kental.  Ini teko untuk menyajikan minuman. Anda bisa memesan wedang jahe panas, teh panas, kopi panas, namun disediakan pula minuman dingin seperti es teh dan es jeruk.

Sensasi Sego Kucing dan Aneka Makanan Rakyat

Makanan khas yang disediakan di setiap angkringan adalah sego kucing. Dilihat dari segi namanya, sego artinya nasi, jadi memang bermakna nasi kucing. Disebut sego kucing karena jumlahnya yang sedikit, seperti ketika memberi makan untuk kucing kita di rumah. Sedikit nasi dan sedikit lauk. Itulah sebabnya kemasan sego kucing hanyalah bungkusan kecil. Anda bisa menyantap dua atau bahkan empat bungkus sekaligus agar terasa kenyang.

Sego kucing terdiri dari sekepal nasi dengan lauk oseng tempe pedas, atau sepotong kecil ikan bandeng dengan sedikit sambal. Kadang ditambah sedikit bihun goreng atau mie goreng. Dibungkus dengan daun pisang di bagian dalam, dan biasanya di bagian luar masih ditambah dengan kertas koran sebagai penguat pembungkus. Benar-benar serba sedikit, maka harganya pun murah dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Seorang teman dari Sulawesi merasa sangat heran dengan sego kucing ini. Di kampungnya, orang makan ikan utuh yang besar-besar, tanpa dipotong. Karena alam Sulawesi memang sangat kaya potensi ikan, dan ikan telah menjadi makanan keseharian masyarakat. Begitu menyantap sego kucing ia kaget, karena menjumpai potongan ikan bandeng yang “tidak berbentuk”, saking kecilnya. “Bagaimana memakan ikan seperti ini?” celetuknya protes.

Makanan yang disediakan di angkringan, tidak jauh berbeda antara angkringan satu dengan yang lainnya. Yang hampir selalu disediakan adalah tempe goreng, tahu isi, pisang goreng, tempe dan tahu bacem, cakar (ceker) ayam, kepala ayam, dan sate usus ayam. Jika angkringan cukup besar, menyediakan pula jadah bakar, mie instan rebus, dan aneka jajanan lainnya.

Di beberapa angkringan, disediakan pula Kopi Jos, yaitu kopi hitam panas, yang ditambahkan arang membara, sehingga terdengar bunyi “josss” saat memasukkan bara arang tersebut. Sebagian ahli kesehatan tidak merekomendir minuman ini, karena konon arang bersifat karsinogen, sehingga tidak sehat untuk diminum. Silakan dilakukan studi lebih lanjut soal ini.

Saya lebih menikmati teh nasgitel (panas, legi, kentel). Yaitu teh panas yang kental, dengan gula batu sebagai pemanisnya. Rasanya tidak mau pulang dan selalu ingin berlama-lama di angkringan saat sudah menikmati teh nasgitel ini.

[caption id="attachment_142494" align="aligncenter" width="498" caption="gambar angkringan dari Google"][/caption]

Rendezvous Berbagai Kalangan Masyarakat

Dilihat dari menu makanan di angkringan, mungkin anda akan mengatakan “begitu-begitu saja”, tidak ada yang istimewa. Ya, mungkin saja, karena memang angkringan adalah warung rakyat, menjadi rendezvous bagi berbagai kalangan masyarakat Yogyakarta. Di sinilah letak istimewanya. Bukan pada kelengkapan menu apalagi pada “kemewahan” selera makanan. Jauh dari itu.

Angkringan hanyalah gerobak yang sederhana. Bagi anda yang sangat cerewet dengan kebersihan, mungkin anda akan merasa tidak nyaman makan di angkringan. Apalagi jika anda kebagian duduk lesehan dengan tikar di trotoar. Mobil dan motor lalu lalang di depan anda, termasuk para pejalan kaki, dan anda tengah menyantap teh panas serta sego kucing sembari duduk lesehan.

Dulu, angkringan ini adalah tempat makan rakyat jelata, seperti para tukang becak, para buruh, kuli bangunan dan sebagainya. Namun pada perkembangannya, angkringan sangat diminati para mahasiswa Yogyakarta yang rata-rata berkantong pas-pasan. Sekarang, angkringan telah dinikmati semua kalangan. Baik kalangan rakyat menengah ke bawah, maupun mereka yang secara ekonomi masuk kategori papan atas.

Yang datang ke angkringan, bukan hanya mereka yang berjalan kaki, atau naik sepeda kayuh, atau datang membawa becak. Sekarang angkringan telah menjadi tempat nongkrong semua kalangan. Baik dari kalangan ningrat atau bangsawan kraton, para birokrat, anggota legislatif, pengusaha, mahasiswa, dosen, para seniman, sampai para kuli bangunan, buruh serabutan dan tukang becak. Semua ada.

Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dan Kiai Kanjeng adalah penikmat angkringan. Djaduk Feriyanto, Butet Kertaredjasa dan sederetan seniman Yogyakarta adalah penikmat angkringan rakyat tersebut. Beberapa rekan saya yang menjadi aktivis parpol dan anggota legislatif juga suka nongkrong dan mengobrol di angkringan. Para mahasiswa bisa duduk berlama-lama di angkringan sambil mengobrolkan berbagai rencana kegiatan kampus.

Menyatukan Warga Yogyakarta

Masyarakat boleh beragam status sosialnya, kondisi ekonomi, afiliasi politik, jenis pekerjaan serta atribut lainnya yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Namun warga Yogyakarta telah disatukan lewat angkringan dan sego kucing. Anda belum mengenal Yogyakarta dengan baik apabila belum bisa menikmati nongkrong di angkringan, menyantap sego kucing dan teh nasgitel atau minuman tradisional lainnya.

Di angkringan kita tidak bicara status sosial. Kita tidak minder dengan status sosial masing-masing, karena angkringan telah menjadi simbol egaliter. Sebuah kebersamaan, kekompakan, keramahan, kebersahajaan telah diwadahi dalam sebuah angkringan, dibungkus kecil dan ringkas sebagai sego kucing. Akhirnya semua warga Yogyakarta, termasuk para tamu, pendatang dan turis telah larut, menyatu dalam sensasi angkringan.

Selamat datang di Yogyakarta, selamat melebur dengan warga masyarakat melalui angkringan dan sego kucing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline