Lihat ke Halaman Asli

Obat Ngompol [#LombahumorPK]

Diperbarui: 12 Februari 2016   00:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

 

Kira kira 50 tahun lalu *), jujur dan terus terang, saya masih doyan ngompol, padahal sudah duduk  di kelas  2 Sekolah Rakyat (SR) atau setingkat SD sekarang. Biasanya, sebelum “…sor-osor-osor…..” pipis atau melukis pulau diatas tempat tidur selalu diawali  dengan mimpi. Pikir saya waktu itu, ngompol adalah buah mimpi indah yang langsung jadi kenyataan. Bagi saya, ngompol adalah perbuatan meng-asyikan penuh kehangatan dan kegembiraan, tapi buat ortu (orang tua), itu prilaku menyebalkan plus menjengkelkan.

Ayah saya setiap bangun subuh dan mendapati saya ngompol, sembari mlorotin celana saya  lalu  telapak tangannya mukulin pantat saya berulang kali, beliau tak jemu jemunya senantiasa menebar ancaman  “Awas, kalo besok masih ngompol, “kulupmu” akan bapak iket pake karet” ….. [suatu ancaman yang nggak pernah jadi kenyataan bro!...].  Kalo sudah begitu saya bisanya cuman nyeng  ir sambil nangis dan bertobat, padahal cuman tobat lalu kumat alias tomat lantaran besoknya proyek perngompolan diulang kembali…… hehehehehehe… jadi malu nih!

Suatu sore ayah saya yang seorang tentara pulang ngantor membawa setoples Papatong (Sunda) atau Kinjeng (Jawa) atau Capung. Entah dapat resep dari mana, katanya itu untuk mengobati kebiasaan saya ngompol. “Wuaduhhh,…!” saya kaget, sebab saya paling takut sama capung. Kepalanya besar, mulut dan giginya wuih…. menyeramkan. Saya pikir, iya lah…. “teu nanaon” (gak apa apa) dari pada kulup saya, satu satunya benda keramat bawaan sejak orok diiket karet, ya mending pake capung. Semula saya duga capung capung tersebut mau dibikin rempeyek atau dipepes, lalu dimakan.  Weleh…..weleh nggak tahunya buat desengatkan atau digigitkan ke sekitar ‘anunya’ saya yang masih original  berkulup lancip and lucu.  Dua kali sehari masing masing tiga gigitan, minimal selama seminggu berturut turut atau sampe sembuh. Bayangkan Kompasianers, ngeri nggak?. Terang saja saya girap girap, ketakutan dan lari tunggang langgang sambil menangis dan memegang  si “anu” yang akan jadi sasaran ‘proyek’ percobaannya ortu.

Setiap saya mau di garap, kedua ortu + paman selalu parsuasif via bujuk rayu dan iming iming hadiah segala [persis kayak syayembara ini,… wakakaka…] namun sia sia alias nggak mempan, akhirnya jurus paksa-rela semacam perkosaan dilancarkan beliau beliau bertiga, saya duber-uber, ditangkap, dipegangin, diplorotin celannya lantas…”cletit…cletit…cletit…” gigitan sang capung berasa seperti cubitan pacar. Meronta ronta, nangis, berteriak dan berbagai umpatan pastinya mewarnai adegan tersebut dong!, namanya juga anak anak. Ortu saya mungkin bilang, “untuk menangkap saya lebih sulit dari pada menangkap capung”. Hehehehehehe…**)

Setelah itu, untuk meredakan tangisan, biasanya ibu lantas memeluk erat saya sembari mengelus ngelus kepala saya dengan penuh kasih sayang seorang ibu, kemudian memberi saya sebotol limun kesukaan atau menawarkan makanan lain yang saya gemari.

Sebenarnya sakit banget sih nggak,  cuman rasanya geli-geli gemana gitu, sehingga saya perlu meronta guna menahannya. Soal menangis dan umpatan atau teriakan, “aduh sakit….sakit…sakit….ampun…ampun….”  itu hanyalah taktik atau alasan agar aksi ‘nyeleneh’ ortu tidak terus berlanjut,  […hehehehe…sebangun dengan koruptor yang ogah dipanggil aparat hukum dengan alasan sakit….]

 

Sembuhkah?,

Hasil ‘perkosaan” atau pemaksaan kehendak ortu semacam diatas lambat laun memang ada menfaatnya. Setiap malam saya bermimpi dan mulai terasa hangat pingin  “…sor…osor…..osor…” saya buru buru bangun, lari ke kamar mandi dan “ber-ewes ewes-ria” disitu yang memang tempatnya.  Kini bau pesing dari tempat tidur pindah ke kamar mandi, karena selepas pipis, saya paling ogah disuruh ngguyur. Mestinya ortu memaklumi dong, “lha wong mata masih terasa sepet kok disuruh ngguyur, nggak ngompol di kasur aja mestinya sudah bersyukur buangetz.” mbatin saya berargumen kenthir.

Nah,.. kalo kasusnya menimpa anak perempuan atau orang yang sudah bangkotan, apa masih dengan cara yang sama juga?. Kebayang deh!,…. tau ah gelap!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline