Publik akhir-akhir ini dikejutkan oleh perseteruan beberapa grup band yang pada awalnya mereka kompak, seiring sejalan membesarkan nama band nya bersama-sama, namun di akhir cerita justru mereka saling mengajukan somasi bahkan gugatan untuk tidak menggunakan atau menyayikan lagi lagu-lagu yang dulu pernah mereka orbitkan bersama. Bahkan situasi semakin memanas, hingga dalam perseteruan salah satu band, saling menjatuhkan dengan menyebut mantan kawan mereka memiliki muka seperti "pembantu". Hal ini tentu sangat memprihatinkan, karena yang dilakukan itu menjadi sesuatu yang sudah diluar batas kewajaran. Dan tentunya, pasti sangat melukai perasaan para "Asisten Rumah Tangga" atau ART di Indonesia. Apa salah mereka, sehingga dibawa-bawa dalam masalah ini? Apa pula tendensi seseorang mengucapkan kalimat demikian? Sadarkah bahwa hal ini sudah masuk ranah bullying atau lebih berat sebagai rasisme terhadap profesi yang mulia tersebut?
Kita harus ingat, ART bukanlah peminta-minta atau pengemis atau penyandang masalah sosial yang merugikan banyak orang. ART menggunakan tenaganya untuk mendapatkan upah. Mereka bukanlah pencuri atau koruptor uang negara yang masih bisa tersenyum dan tertawa lebar didepan media dalam konferensi pers. Mereka mendapatkan uang itu secara halal. Profesinya jauh lebih mulia daripada golongan yang disebutkan diatas. Mereka adalah pekerja yang harus dihormati, terlebih lagi para pekerja migran, yang diakui atau tidak, menyumbang devisa triliunan setiap tahunnya. ART adalah para pahlawan negara. Lalu mengapa hal demikian bisa terjadi? Dalam sosiologi, istilah perilaku tersebut adalah labelling dan stereotipe. labelling adalah cap, julukan yang berkonotasi negatif bagi seseorang dalam masyarakat. Tentunya, cap atau julukan ini berdampak sangat buruk bagi korbannya. Labelling dan stereotip bukanlah hal baru. Ia dapat dilacak keberadaanya dari berabad-abad lampau di Indonesia.
Penjajahan di Indonesia selama ratusan tahun menyisakan banyak sekali kemerosotan, baik materil maupun moril disemua lini kehidupan. Secara materil, beribu komoditi perkebunan kita telah dikapalkan ke Eropa, selama kurun waktu Cultuur Stelsel yang panjang. Menyisakan kerak-kerak nelangsa kehidupan anak bangsa, yang dipotret dengan jitu oleh Multatuli dalam "Max Havelar". Satu novel sederhana yang menceritakan nestapa kehidupan petani kecil di Lebak Banten yang harus menanggung banyak beban dalam hidupnya. Satu novel, yang suka atau terpaksa membuat penjajah menyerah, bertekuk lutut mengikuti pusaran arus zaman : Asia yang bermartabat dan tegak berdiri. Namun diantara warisan luka penjajahan yang tak terkira, dan begitu sulit dilenyapkan adalah watak, mentalitas. Materil boleh hilang atau lenyap. Namun sebagaimana hukum alam, ia akan kembali tumbuh. Namun moril, ia tak akan mudah begitu saja berubah. Stratifikasi masyarakat, watak korup, mudah diadu domba (Banyak sekali dalam sejarah kerajaan atau kelompok yang dibenturkan oleh penjajah satu sama lain seperti Ternate-Tidore, Mataram dan kerajaan-kerajaan lain dengan diskriminasi pada kelompok tertentu dan memperkuat kelompok lain), menempuh jalan pintas, mengutamakan gengsi dan jabatan adalah warisan kolonial yang hingga saat ini sulit hilang, bahkan tumbuh subur . VOC sebagai entitas dagang di masa lampau juga ambruk karena korupsi. Adu domba, atau politik devide et impera diterapkan oleh penjajah waktu itu karena mereka menyadari betul kelemahan-kelemahan kita sebagai bangsa. Ditambah dengan kemajemukan atau heterognitas yang tinggi, sangat mudah bagi mereka untuk memecah belah bangsa kita. Salah satu senjata utama dalam politik ini adalah labelling.
Penjajah waktu itu cukup memberi label Kerajaan A demikian, dan Kerajaan B demikian. Lalu diungkaplah kelemahan-kelemahannya. pada akhirnya muncullah penilaian buruk bagi Kerajaan A tersebut. Misal orang-orangnya pemalas, tak mau berfikir dan lain sebagainya. Hingga hari ini, masih ada labelling seperti itu, misalnya terhadap suku-suku di Indonesia (yang sudah tentu menjadi tuduhan tak berdasar). Suku A pemarah, Suku B berilmu paling tinggi dan sebagainya. Begitu pula labelling pada saudara-saudara kita para ART saat ini. Sering diberitakan keburukan-keburukan mereka, hanya karena mereka lemah. Misalnya membawa kabur uang majikan, menyiksa anak yang diasuh. Namun sebenarnya kejadian ini tak seberapa prosentasenya. Dalam banyak kejadian, justru para majikanlah yang kerap bertindak sewenang-wenang kepada mereka. Karena secara logika mereka berkuasa. Banyak terjadi kasus penganiayaan ART oleh majikannya sendiri. Tidak ingatkah kita, dikala libur Lebaran para ART ini mudik dari Jakarta dan bagaimana begitu repotnya kita mengurus urusan domestik? Tidak ingatkah kita, bagaimana anak-anak kita telah tumbuh dewasa, dan pernahkah terlintas di benak kita, siapa yang membantu mengasuh mereka? Tak lain dan tak bukan adalah para Asisten Rumah Tangga. Begitu besar jasa mereka dalam kehidupan kita.
Dalam konteks Ke-Indonesiaan, Labelling ini sungguh-sungguh sangat berbahaya. Ia akan bisa memicu konflik horisontal yang meluas. Pada akhirnya akan terjadi saling benci dan dendam antar kelompok, antar suku bahkan antar agama. Sesuatu yang sangat membahayakan bagi Negara Indonesia yang majemuk. Yugoslavia adalah pelajaran berharga, bahwa kebencian antar mereka membuat negara tersebut pecah, dan menjadi negara pecahan yang kecil-kecil, disertai luka perang saudara yang begitu pedih. Oleh karena itu, mental labelling ini sudah harus distop, karena ia merupakan warisan watak kolonial yang kontraproduktif.
Selanjutnya adalah stereotip. Ia adalah tindak lanjut dari Labeling. Jika Labelling adalah cap atau julukan yang dihembuskan oleh pihak ketiga, maka stereotip ini adalah penilaian atau anggapan seseorang mengenai hal tertentu (Yang tentu saja semua hanya berdasar asumsi yang tidak mutlak kebenarannya). Menurut Prof Soerjono Soekanto dalam Pengantar Sosiologi (2012:109), stereotip adalah gambaran-gambaran atau anggapan yang bersifat mengejek terhadap suatu obyek tertentu. Dalam hal ini jelas, yang dilakukan oknum personel band tersebut adalah stereotip. Seperti banyak ditemukan saat ini, tawuran antara dua kelompok pemuda atau organisasi massa, pada awalnya adalah saling mengejek. Baik itu di media sosial maupun saat mereka bertemu langsung. Hal-hal demikian dari awalnya hanya saling bercanda dan saling ejek, bahkan bisa berakhir menimbulkan pembunuhan. Demikian pula yang terjadi antar para suporter pendukung sepakbola.
Yang terakhir adalah stratifikasi sosial. Sejak zaman kolonial, pelapisan masyarakat memang sengaja dibuat untuk mempersempit dan menghambat akses bumiputera, sehingga bangsa Indonesia sebagai pemilik negeri ini justru berada di lapisan terbawah. Stratifikasi sosial atau kelas sosial adalah hukum alam yang diciptakan oleh Tuhan. Ia adalah suatu keniscayaan. Pandangan menghapus segala kelas sosial yang dihembuskan oleh kelompok komunis di masa lalu adalah menyalahi kodrat manusia, serta bertentangan dengan nilai Pancasila. Ada yang kaya, ada pula yang miskin. Demikian adanya. Namun demikian hendaknya kita betul-betul mengaplikasikan nilai luhur Pancasila terutama sila kelima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang kaya tidak sombong, dan menjelek-jelekkan yang kurang beruntung. Apalagi memberi mereka label dan stereotip yang justru akan menyulitkan mereka. Konsep zakat dalam agama Islam sebenarnya adalah hal yang cukup ideal bagi penerapan kebersamaan sosial ini. Saling bantu dan saling mengisi. Begitu pula Umat Budha yang melakukan ritual Pindapata atau derma kepada para Bhiksu merupakan harmonisasi yang sangat indah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Labelling dan Stereotip adalah watak lama warisan buruk masa penjajahan. Orang yang cerdas pasti enggan melakukannya. Semoga kejadian memprihatinkan seperti ini tak terjadi lagi di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H