Lihat ke Halaman Asli

Setio Budianto

Saya adalah seorang Praktisi dan Akademisi Pariwisata, juga Guide Berbahasa Inggris. Disamping itu menulis buku fiksi dan non fiksi

Tarian Bocah Perkebunan (1) 2011 : Hari Penentuan

Diperbarui: 17 Juni 2023   09:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

TARIAN BOCAH PERKEBUNAN

PROLOG

Negara Republik Indonesia, diakhir dasawarsa enam puluhan bagai telur diujung tanduk. Ekonomi terpuruk, inflasi membumbung tinggi mencapai langit. Barang-barang kebutuhan pokok tak terjangkau, terutama oleh orang kebanyakan. Hanya orang kaya saja yang mampu membeli.  Jurang menganga begitu lebar antara yang berpunya dan kaum papa.  Memperoleh beras bak mencari sepotong jarum di tumpukan jerami. Sandang, pangan dan papan hanya beda setipis rambut dengan masa Penjajahan Jepang. Transportasi sulit, listrik tidak ada, banjir acapkali mendera, mayoritas murid kesekolah masih bertelanjang kaki.

Presiden selaku mandataris MPR bergerak secepat kilat. Era politik dengan hingar-bingarnya diakhiri. Dengan suatu prinsip sederhana dan rasional : jutaan rakyat Indonesia akan tetap terombang-ambing saja, bagai apung dipermainkan gelombang bila kondisi politik tetap riuh rendah seperti ini. Dalam cerita sejarah apa saja, dari Fir’aun hingga Perang Dunia, tetap rakyat kecillah yang jadi korban. Gajah berjuang sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah. Dimulailah era baru, dengan bidang Ekonomi sebagai putra mahkota. Air jernih ikannya jinak. Sayup-sayup terdengar Gaung REPELITA membahana. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote.

Jangan harap jerih payah yang diupayakan semudah membalikkan telapak tangan. Sumberdaya manusia dan mental sungguh tak bisa hanya diperbaiki dalam hitungan bulan. Bagai menegakkan benang basah. Pengaruh penjajahan dengan ide-ide feodal selama berabad-abad, dan konflik dalam negeri berkepanjangan menyisakan lobang-lobang yang teramat dalam, dan sukar untuk ditambal. Disemua sektor, pengaruh itu telah lama masuk. Tak terkecuali di perkebunan sebagai "anak emas" Pemerintah Kolonial pada masa Cultuur Stelsel atau Tanam Paksa. Pundi-pundi Kerajaan menggelembung, karena jutaan komoditi dikapalkan ke Eropa.

Di tangan Republik sudah banyak perubahan besar di perkebunan resmi milik Pemerintah. Sektor ini menjadi lebih manusiawi dan humanis. Tantangan sedikit banyak tetap ada dari oknum internal yang anti perubahan. Semuanya masih bisa dimaklumi. Tapi tidak demikian halnya yang terjadi di perkebunan-perkebunan partikelir milik perorangan. Virusnya begitu mendarah daging. Terlanjur masuk ke tulang sungsum segelintir oknum penguasa lokal dengan keturunannya, yang menjadi Raja-Raja kecil di pedalaman.  Di Tahun 1967 ini, agaknya Kisah Saijah dan Adinda dalam Max Havelaar masih sangat relevan untuk dibaca ulang...

Bagian Kesatu

HARI PENENTUAN

Brakk…terdengar pintu dibanting keras. Birowo benar-benar geram. Untuk apa anak miskin itu datang lagi? Ia tutup wajahnya dengan telapak tangan. Birowo benar-benar pusing tujuh keliling. Dikacaukannya rambut dan juga seisi kamar itu. Luluh lantak bak kapal karam! Istrinya, Viona segera datang mendengar ribut-ribut di dalam.

“Ada apa Mas? Aduh, kamar sampai berantakan begini?” Viona memandang keheranan.

“Ahh…bagaimana tidak pusing! Pagi tadi Ayah memaki-maki aku didepan si Kacong sialan itu!” ujar Birowo dengan muka merah padam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline