Tahun 2020 DPR akan merencanakan pembahasan 50 jenis RUU (Rancangan Undang Undang) di Progelnas ( Program Legislasi Nasional) prioritas untuk segera disahkan sebagai UU, salah satunya adalah RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual), tetapi karena terlalu banyaknya perdebatan yang berkepanjangan dikalangan para anggota DPR, maka RUU tersebut, dihapus dari Prolegnas prioritas tahun ini.
Penghapusan RUU PKS dari Prolegnas merupakan tindakan yang tidak tepat dan bukti bahwa hak warga negara Indonesia untuk mendapatkan perlindungan dan persamaan hukum, diabaikan oleh negara.
Pemerkosaan, pelecehan seksual baik verbal dan non verbal, eksploitasi seksual, kekerasan fisik pada pasangan dalam ikatan pernikahan, perdagangan anak anak dan perempuan untuk tujuan seks komersial dan sebagainya baik dilakukan seorang diri atau berkelompok adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan juga termasuk kejahatan luar biasa pada kemanusiaan.
Para korban kekerasan seksual biasanya mengalami trauma dan penderitaan secara psikologis dan sosial sepanjang hidup mereka, sementara itu pelaku, tidak mendapatkan hukuman setimpal dengan kejahatan yang dilakukannya.
Meningkatnya kasus kasus kekerasan dan kejahatan seksual seiring dengan kemajuan teknologi serta distorsi kebudayaan, sosial dan keagaaman dalam suatu negara.
Lingkungan sosial, kerja dan publik dimana rasa aman bisa didapatkan , ternyata tidak sesuai dengan harapan, karena di lingkungan tersebut malah menjadi daerah yang rawan untuk terjadinya kejahatan seksual, begitu pula dengan orang orang terdekat, dihormati dan panutan bisa menjadi pelaku tanpa mereka sadari.
Tekanan psikologis dan sosial atas penderitaan korban, berkembang menjadi suatu tindakan yang tidak dapat dipahami oleh orang awan seperti; pembunuhan, pecandu narkoba, kekerasan fisik, tindakan kriminal, pelacuran, dan bunuh diri, bahkan korban pun dimasa yang akan datang bisa menjadi sebagai pelaku.
Bagaimana bila hal tersebut terjadi pada anak jalanan? Mereka adalah sasaran empuk serta merupakan kelompok rentan terhadap kekerasan dan kejahatan seksual karena tidak adanya perlindungan dari keluarga dan pemerintah.
Kewajiban negara dan pemerintah untuk memberikan penyembuhan, rehabilitas dan perlindungan bagi korban merupakan hak yang harus didapatkan sebagai bentuk tanggung jawab negara kepada warga negaranya.
Wacana pengebirian secara kimia, pengawasan dan pemantauan terhadap pelaku melalui gelang chip sebagai hukuman tambahan mengalami kendala karena dianggap bertentangan dengan etika kedokteran dan terbatasnya anggaran untuk pengadaan alat tersebut.
Sementara itu di DPR terjegalnya RUU PKS karena judul, definisi dan jenis kekerasan seksual dianggap berprespektif liberal yang bertentangan dengan nilai nilai Pancasila dan keagamaan.