Lihat ke Halaman Asli

Mati Suri

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12972600401874035385

Aku tidak mencintainya !!! Bagaimana mungkin ! Segala jiwa dan raga kuserahkan padanya tanpa sedikit-pun relung hati terukir namanya ? Bagaimana ku tatap mentari pagi, dan menyapa datangnya bulan bersamanya ? Tak pernah ku berbincang mengenai hidup dan cita-cita bersamanya, keringat ku tak mengenal wajah nya, tangan ku tak pernah menggandeng hatinya, kaki ku tak mengenal jejak langkahnya, mata ku tak menatap syair hidupnya. Pilihan yang harus ku telan mentah-mentah tanpa mencerna dan merangkul dalam indra.

Andai Ayah masih hidup ! Ya, andai Tuhan tak memanggil namanya dengan cepat.  Andai kami yang menumpang hidup dapat menyatakan permintaan tentang kehidupan. Tentu akan meminta pada-Nya. " Tuhan, jangan kau panggil namanya !" Andai aku diberikan pilihan mempertemukan Ayah tuk berbalas kasih dengan Ibu. Ku tahu dengan pasti. Ia akan menolak pernikahan ku dengan nya.  Ayah, benarkan keinginan ku ini ? Rupanya tanpa sadar aku bersikap seperti Tuhan,  mampu menentukan jalan hidup manusia. Ya, andai kemampuan itu ada padaku, maukah Tuhan memberikannya ? Semenjak kematian bersenggama dengan keluarga kami. Semua harus dimulai dengan senyum kesedihan. Masih jelas teringat merdunya jari Ibu bergerak tanpa arah melukis batik,  arah yang sudah turun menurun terlahir dalam dirinya. Keseharian, dan kehidupan cukup membutakan dirinya tuk melepaskan tangannya menggenggam keinginan tuk melangkah demi kami.  Semua untuknya hidup dan raga. Pasti dan kian pasti, tangan Ibu semakin bergetar tak selincah dahulu. Bangunan megah tampak diluar, rapuh di dalam. Satu persatu alat produksi yang kami miliki dengan bangga, terlepas.  Kami hanya tukang. Kami hanya memiliki tenaga. "Jika pun itu kau ambil maka roh kami pun tak cukup memberikan kami nafas !". Pasar Batik Klewer hasil keringat kami, batik indah yang kau kenakan terdapat jerit tangan Ibu ku !" Himpitan hidup, menghantarkan diri menjadi Nonya kedua Broto. Salah satu pria tua yang berlebih harta, hingga satu istri pun dirasa belum cukup. Roh pun kau ambil ! Ya, Tak cukup. Memancar dimatanya yang sayup sejuta tanda tanya, apa yang kau inginkan. Tak cukup, berapa tukang yang kau miliki, berapa tanah yang kau miliki, dan berapa kekayaan yang kau miliki, tak cukup hingga kematian menimpa. Kekayaan menjadi satu kata yang agung.  Mampu membeli apapun hingga keluarga kami. Aku bagaikan salah satu kain baginya. Kain yang dipamerkan, jeritan keluarga ku..............mati suri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline