Fenomena super blue moon yang terjadi pada 31 Agustus 2023 seharusnya menjadi peristiwa yang menarik. Bulan akan terlihat lebih besar dan lebih terang dari biasanya. Tapi di Jakarta terlihat berbeda. Bulan memang tampak lebih besar tapi sinarnya justru lebih redup dari biasanya. Cahaya bulan terhalang oleh kabut polusi.
Kasihan sekali tuh bulan, maksud hati menerangi semesta apa daya polusi menyelimuti Jakarta. Sudah begitu, di langit tiada kawan pula. Ya, bulan nampak sendirian. Hanya beberapa gelintir bintang saja yang menemani, itu pun samar-samar terlihat. Langit Jakarta sudah penuh dengan polusi cahaya masih terkena polusi udara pula.
Telah banyak upaya yang dilakukan untuk mengurangi polusi udara Jakarta. Tapi sepertinya doi bandel banget, kagak pergi-pergi tuh sih polusi. Cinta amat sama Jakarta.
Usaha dari atas dengan rekayasa cuaca sudah dicoba. Upaya dari bawah menyedot sungai atau air bawah tanah untuk disemprotkan pun telah dilakukan. Para pegawai pun sudah banyak yang WFH. Sidak, operasi maupun sanksi kepada penyumbang besar polutan pun digencarkan. Penjualan kendaraan listrik pun dimasifkan. Transportasi masal LRT pun dioperasikan. Tetap saja tingkat polusi udara tidak berkurang signifikan.
Polusi udara Jakarta sebenarnya sudah berlangsung puluhan tahun. Tapi mengapa tahun ini seolah begitu istimewa? El Nino, si anak laki-laki itulah biang keroknya, kata para ahli. Si Dia nih menjadikan musim kemarau menjadi sangat kering dan berlangsung lebih lama. El Nino merupakan fenomena pemanasan suhu muka laut di atas kondisi normalnya, yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah. Efeknya meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah, dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia. Penjelasan ilmiah lengkapnya sungguhlah rumit, Intinya kemarau berlangsung lama, hujan lama tak turun.
Hujan ternyata bisa mencuci udara. Udara yang kotor dicuci oleh hujan, kotoran polutan turun bersama air hujan. Saat ini para polutan berpesta pora di atas Jakarta. Mereka berkumpul, bergembira melayang-layang yang nampak berupa kabut keabu atau kehitaman.
Ulah para polutan sungguhlah merepotkan negara. KTT ASEAN telah digelar di Jakarta di saat udara Jakarta sedang tidak baik-baik saja. Sebagai tuan rumah, kita ingin terlihat baik di mata para tamu. Berita negatif sedikit saja tentang udara Jakarta akan berdampak pada citra Indonesia di mata dunia internasional. Kita tidak ingin, para delegasi sepulang dari KTT jadi batuk-batuk, sesak nafas, asma kambuh, bengek ataupun mata merah.
Semua instansi pemerintah turun tangan mencoba mengatasi. Lurah, camat, walikota, gubernur, dirjen, menteri bahkan presiden turun tangan. Wajah-wajah pejabat tersebut menjadi sering muncul di media massa untuk memberikan informasi, himbauan maupun langkah-langkah apa yang telah dilakukan. Semua demi satu target, awal September kondisi udara Jakarta harus membaik.
Pernah sih udara Jakarta begitu bersih, langit pun cerah. Sampai-sampai gunung Salak begitu jelas terlihat. Bukan tahun 50-an lho. Ya, saat horor-horornya pandemi Covid-19, foto itu begitu viral. Tapi sekarang? Gedung yang jaraknya beberapa kilo saja terlihat samar.
Penanganan masalah ala pemadam kebakaran untuk jangka pendek mungkin cukup efektif. Akan tetapi, butuh penanganan yang lebih substantif dan jangka panjang. Perlu usaha seluruh komponen masyarakat untuk menanggulanginya. Butuh kesadaran dari seluruh warga, khususnya warga Jakarta untuk mengurangi polusi udara. Setidak-tidaknya ada kesadaran untuk untuk tidak memperparahnya. Pemerintah juga harus terus melakukan langkah-langkah yang efektif untuk mengurangi polusi.