Lihat ke Halaman Asli

Mengenang Wafatnya Pak Harto

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari ini, enam tahun lalu telah wafat pemimpin terbesar Republik ini yaitu Jenderal Besar Haji Mohammad Soeharto pada usia 87 tahun akibat kegagalan multiorgan dalam tubuhnya. Jenazah almarhum kemudian disemayamkan di Astana Giri Bangun, Solo sampai hari ini.
Bagi sebagian orang, terutama yang berasal dari kalangan yang menamakan diri mereka "aktivis hak asasi manusia" atau "aktivis demokrasi", meninggalnya Pak Harto patut disyukuri sebab dia adalah seorang diktator pelanggar HAM dan demokrasi korup yang kejam dan hanya menghisap harta kekayaan Indonesia untuk keluarga dan kroni. Namun tentu saja kita harus selalu mengingat bahwa para "aktivis" tersebut tidak pernah melakukan tindakan nyata bagi Indonesia selain mengkritik. Bila rakyat lapar, mereka hanya bisa kritik, bila rakyat terancam bahaya, mereka hanya bisa kritik, bisa rakyat miskin, mereka hanya bisa kritik. Itu saja kerja mereka, para aktivis itu, dan pihak yang meletuskan kerusuhan Malari dan kerusuhan Mei 1998, jadi wajar bila kita memandang sebelah mata kepada tukang kritik dengan kualifikasi no action talk only tersebut.

Bagi saya, tidak ada masa sebaik kehidupan di era Orde Baru yang aman, damai, sejahtera dan tentram. Saat itu sebagai warga negara saya benar-benar merasakan diperhatikan oleh negara. Tentu saja murahnya bahan-bahan pokok dan barang saat itu adalah salah satu kelebihan Orde Baru dibanding Orde Lama dan Reformasi.

Memang saat Orde Baru tentu ada beberapa oknum tentara yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan dengan berbuat semena-mena kepada sipil karena waktu itu militer adalah alat kekuasaan untuk mendisplinkan rakyat. Akan tetapi hal ini lumrah terjadi, dimanapun juga kelompok yang berkuasa akan melahirkan sebagian anggota kelompok yang memanfaatkan kekuasaan tersebut demi kepentingan sendiri dengan merugikan pihak di luar kelompok. Kita lihat saja era reformasi ketika sipil berkuasa, bukankah "lumrah" kita saksikan beberapa kalangan dari sipil yang menjahati dan melakukan kekerasan terhadap sipil lain misalnya memaksa menutup Gereja dengan kekerasan? main hakim sendiri?, dan dalam beberapa kesempatan anggota militer juga menjadi korban pembunuhan sipil.

Lantas apa bedanya supremasi militer dengan supremasi sipil? Nyaris tidak ada sebab keduanya, bila demikian, maka diskursus "sipil-militer" sesungguhnya topik yang tidak perlu ada, mengingat keduanya sama-sama berpotensi melahirkan oknum yang melahirkan penyalahgunaan wewenang. Apakah supremasi sipil memang lebih baik daripada militer? Nyatanya terbukti bahwa kita pernah memiliki empat presiden dari kalangan sipil, dan keempatnya adalah pemimpin yang tidak efektif, tidak efisien, tidak menguasai keadaan, dan justru merusak bangsa. Berbanding terbalik saat dipimpin pemimpin berlatar belakang militer, dan walaupun Indonesia makin kacau di era SBY, namun setidaknya dia dapat menciptakan suasana politik yang jauh lebih stabil daripada era dua presiden sipil terakhir, Gus Dur dan Megawati.

Jadi pendekatan keamanan Pak Harto menggunakan militer sebenarnya sah saja, apalagi pendekatan semacam itu ternyata berhasil membuat negara ini mencapai tujuannya, menentramkan dan mensejahterakan rakyat.

Terus terang, bagi saya sampai saat ini Indonesia baru memiliki satu presiden dan satu ibu negara, yaitu Pak Harto dan Ibu Tien. Presiden lain hanyalah pejabat presiden yang menduduki kursi dan kedudukan milik Pak Harto untuk sementara waktu. Karena mereka hanya Pejabat Presiden, maka mereka bukan Presiden sesungguhnya, dan bukan pemimpin yang layak dimiliki bangsa ini.

Ini tidak berlebihan, karena apakah ada pemimpin bangsa ini yang lebih bersungguh-sungguh memperhatikan kehidupan rakyat daripada Pak Harto dan Ibu Tien? yang berjuang sekuat tenaga dibanding mereka? Dari lima jilid buku jejak langkah, semacam buku catatan harian dan perjalanan kepresidenan Pak Harto selama lima periode, kita dapat ketahui bahwa semua hari-hari Pak Harto didedikasikan untuk membangun Indonesia. Tentu ada hari-hari tertentu dimana beliau melakukan kegiatan refreshing untuk melepas penat, namun 99% waktunya tercurah untuk membangun Indonesia sampai menjelang akhir hayatnya dan sampai dia menjelang sakit.

Bandingkan dengan pejabat hari ini, yang kebanyakan mereka sudah konsentrasi menghadapi pemilu dan lupa bahwa mereka masih bertugas selama enam bulan ke depan, singkatnya para pejabat kabinet dan DPR telah mendemisioner diri mereka sendiri. Sementara itu anggota DPR sudah menghitung uang pensiun yang akan diterima mereka bila tidak terpilih lagi sekalipun selama lima tahun ini para anggota dewan itu tidak kerja dan banyak tugas yang terbelengkalai.

Dari segi pencapaian sebagai presiden, maka Pak Harto jelas jauh meninggalkan seluruh presiden Indonesia yang ada, termasuk Soekarno. Demikian pula dari pencapaian militer, tidak ada perwira Indonesia lain dengan prestasi sebaik dirinya, dan salah satu indikasi adalah Pak Harto tidak pernah kalah perang dan beliau yang merancang dan memimpin penyerangan yang memenangkan Jogjakarta sekaligus kemerdekaan Republik Indonesia selamanya.

Akhir kata, kami, generasi muda Indonesia berterima kasih kepadamu dan akan selalu merindukan kepemimpinan dan suri tauladan yang anda berikan Pak Harto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline