Lihat ke Halaman Asli

Paelani Setia

Sosiologi

Ada Apa dengan Mural?

Diperbarui: 30 Agustus 2021   14:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: www.gettyimages.com

Gegernya mural beberapa waktu ke belakang telah memicu perdebatan publik. Seperti diketahui, pihak berwenang telah menghancurkan mural yang mengekspresikan kritik sosial di berbagai lokasi. Khususnya, mural di Tangerang yang menggambarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan tulisan "404: Not Found" telah dihancurkan, dan senimannya sedang dicari.

Seperti yang sudah bisa ditebak, masalah ini telah menimbulkan berbagai tanggapan, yang sebagian besar meragukan urgensi pencarian muralis itu. Masalah semakin rumit ketika motif pihak berwenang untuk mencari seorang muralis dianggap tidak tepat. Menurut laporan, ada tuduhan tidak menghormati Presiden sebagai simbol atau lambang negara.

Padahal menurut UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, yang termasuk lambing negara adalah bendera merah putih, bahasa Indonesia, Burung Garuda dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan lagu nasional Indonesia Raya. Tidak ada presiden sebagai symbol negara.

Hal yang sama juga dilakukan Rektorat Universitas Indonesia (UI) dengan melakukan kesalahan serupa saat memanggil Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI untuk membahas unggahan "Jokowi The King of Lip Service".

Menariknya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan, Mahkamah Konstitusi telah mencabut ketentuan KUHP yang mengklasifikasikan penghinaan terhadap Presiden sebagai kejahatan biasa. Akibatnya, pihak berwenang harus diizinkan untuk bertindak semata-mata sebagai tanggapan atas pengaduan, daripada memulai pengejaran pelaku.

Ini menjadi masalah tersendiri, khususnya di kalangan pemerhati hukum. Mengapa pihak berwenang tidak merespons sesuai dengan mekanisme hukum yang ditetapkan? Selain itu, apakah ini menyiratkan penggunaan hukum yang menindas?

Bayangan Hukum Represif?

Di tengah krisis akibat wabah Covid-19, banyak di antara kita yang memperhatikan bahwa gestur pemerintah bernada represif. Mulai dari pemberlakuan sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan (prokes) hingga pengerahan ratusan polisi untuk memberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat (PPKM).

Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam buku mereka Responsive Law, sistem represif semacam itu tidak bisa begitu saja disalahkan karena menindas masyarakat.

Ketika pemegang otoritas menghadapi kesulitan, mereka sering menggunakan metode yang menindas karena mereka tidak melihat cara lain untuk melaksanakan tugas mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline