Lihat ke Halaman Asli

Paelani Setia

Sosiologi

Review Buku The New Santri: Challenges to Traditional Religious Authority in Indonesia

Diperbarui: 13 Agustus 2021   23:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: wardahbooks.com

Pendahuluan

Banyak sekali para ahli atau peneliti yang fokus pada kajian-kajian keislaman. Seperti, Hefner, Al Makin, Najib Burhani, David Kloos, dll. Mereka umumnya meneliti kajian Islam yang berkaitan dgn politik, sosial, ekonomi, pendidikan, gender, dll. Salah satu kajian yang juga sering fokus dibahas adalah organisasi Islam/otoritas Islam. Selanjutnya, kajian otoritas Islam juga bisa dilihat dalam dua fase, fase orde baru dan reformasi. Pada fase Orba umumnya otoritas Islam sangat terbatas dalam geraknya karena kekuasaan yang otoriter. Baru saat reformasi selesai, ruang gerak mereka menjadi dinamis dan aktif. Termasuk era reformasi ditandai dengan beragam kemunculan otoritas baru keagamaan Islam yang bahkan menantang otoritas lama yang sudah berdiri. Hal ini dipengaruhi oleh suasana politik yang cair di era reformasi.

Menurut Alatas (2016), selalu ada hubungan otoritas Islam pasca nabi dgn formasi sosial masyarakat. Sumbu vertical (yang sama) selalu tehubung sampai pada masa Nabi, seperti melalui sumber tekstual (Quran-Hadis) dan ajaran normatif. Sementara sumbu horizontalnya (yg berbeda) karena ada relasi antar umat Islam.

Kemudian, menurut Rumadi (2012), otoritas Islam harus dilihat secara sosiologis karena merupakan kontruksi sosial, bukan hanya konstruksi teologis. Makanya, persoalan dlm otoritas islam itu selalu berhubungan antara konstruksi teologis dan sosiologis. Makanya, kedua konstruksi ini selalu berkontestasi, tidak jarang ada satu otoritas yang sangat otoriter karena menganggap otoritas lain kecil dan melenceng dari ajaran Islam. Ini bahkan bisa terjadi baik di online maupun offline.

Buku ini hadir sudah sangat tepat sekali dlm melihat kontestasi otoritas Islam saat ini. Bukunya dibagi jadi tiga bagian. Pertama, membahas tentang perubahan otoritas tradisional dlm islam. Kedua, transmisi organisasi transnasional. Ketiga, membahas fenomena new santri yang bersamaan dengan media baru.

Menurut Norshahril dan Burhani (yang menulis kata pengantar) ada tiga faktor untuk melihat kontestasi otoritas islam saat ini, yakni: globalisasi, demokratisasi, dan tumbuhnya TV swasta dan medsos (IG, FB, TW, YT). Ketiga faktor tsb berdampak pada konstruksi, kontestasi, fragmentasi, dan pluralisasi otoritas keagamaan kontemporer.

Perlu diingat bahwa definisi dari otoritas keagamaan itu sendiri adalah merujuk pada individu ulama atau organisasi Islam. Para tokoh misalnya Buya Hamka, Quraish Shihab, Gusdur, Caknur. Adapun ormas antara lain adalah NU, Muhammadiyah, MUI. Ada juga Habib, Habaib, Imam, dan Khalifah. Namun, adanya media baru juga menyebabkan otoritas agama lainnya muncul. Mereka adalah para penceramah yang bahkan minim ilmu agama tetapi menguasi media dan populer. Para penceramah ini menggunakan strategi baru yg berbeda dgn otoritas tradisional yang memikat banyak orang. Tidak jarang, para penceramah yg baru juga menimbulkan kontroversi.

Karenanya, menurut data dari PPIM UIN JKT, adanya media baru menyebabkan perubahan pada diskursus keagamaan di medsos. Dari diskursus agama di medsos ini banyak menimbulkan otoritas agama baru. Padahal biasanya otoritas agama tradisional identik dgn majlis taklim; madrasah; & pondok pesantren.

Menantang Otoritas Tradisional
Tulisan di bagian pertama diawali oleh M. Amin Abdullah yang menjelaskan tentang dinamika terkini ormas islam di Indonesia saat ini. Pasca Orba runtuh ada kebebasan bagi setiap individu dan masyarakat utk memamerkan dan mengekspresikan agamanya. Ditambah perkembangan internet menyebabkan komunitas Muslim semakin bebas mengekspresikan sikap dan praktik keagamaannya sangat terbuka. Jika, NU dan Muhammadiyah punya jasa besar dlm sejarah RI, maka ormas-ormas yg selalu dijadikan oposisi oleh pemerintah Orba seperti MMI, FPI, HTI, Laskar Jihad, JI, dan FUI makin aktif pasca Orba dalam mewacanakan Islam, memobilisasi, dan menyebarkan islam versi mereka masing-masing yang sangat berbeda dgn otoritas islam tradisional. Ormas yg dimaksud menggunakan medsos, website, buku, dan bacaan lainnya. Makanya, Amin Abdullah berkesimpulan bahwa sangat terbuka sekali bagi semua kelompok Islam utk menampilkan wajah Islam paling refresentatif yg bisa diterima masyarakat di era ini.

Selanjutnya, ada tulisan dari Azhar Ibrahim yang membahas tentang kontribusi cendekiawan muslim Indonesia baik kiai, ustaz, tuan guru, dai. Pada masa Orba cendekiawan muslim sangat dominan dan menjadi simbol intelektual agama dlm promosi wacana islam. Ini dilakukan seperti oleh Caknur, Gusdur, Amien Rais, Syafii Marif. Generasi selanjutnya dikenal sbg tokoh yang menghadirkan wacana/ide kritis soal islam dan sangat produktif. Ini seperti Cak Nur, Mansur Fakih, Kuntowijoyo, Ahmad Syafii marif, Dawam Raharjo, Jalaluddin Rakhmat, Azra, Djohan Efendi, & Haidar Bagir. Ada juga Quraish Shihab, Said Aqil, Husein Muhammad, Gusmus, Masdar Mas'udi, Nasarudiin Umar. Generasi selanjutnya yang lebih muda rajin dlm wacana keislaman kontemporer. Mereka adalah yg paham teologi, fikih, tafsir, sosial politik. Masalahnya pemikiran para tokoh yg sudah disebutkan tersebut saat ini kurang diakui oleh masyarakat dan bahkan seringkali dianggap terlau liberal atau secular. Banyak juga tuduhan yg mempertanyakan keilmuan dari tokoh-tokoh tersebut diatas. Saat ini justru, penceramah yg punya banyak pengikut di medsos banyak diikuti oleh masyarakat. Parameternya bukan lagi pada substansi keilmuan, tapi pada jumlah pengikut di medsos.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline