Diskursus relasi agama dan negara terus menjadi perbincangan yang seolah tiada akhir. Perdebatan tentang agama dan negara oleh para politikus, akademisi, dan masyarakat umum terus berlangsung seakan baru terjadi akhir-akhir ini. Padahal perdebatan ini sudah terjadi jauh-jauh hari, bahkan sebelum masa kemerdekaan Indonesia.
Diskursus ini menguat pada turunannya yakni pertentangan antara agama dan nasionalisme, khususnya di kalangan umat Islam Indonesia. Hal tersebut ditengarai oleh perbedaan penerimaan terhadap nasionalisme yang aslinya berasal dari Barat. Ada umat Islam yang menerima nasionalisme, ada yang tidak menerima, ada pula yang apriori.
Bagi kalangan Muslim yang menolak, menganggap bahwa nasionalisme seutuhnya adalah paham sekuler dan tidak bersesuaian dengan perubahan Islam.
Sementara bagi kalangan yang menerima, nasionalisme merupakan energi positif selama dibarengi dengan konsep Ukhuwah Islam yang melindungi segenap bangsa.
Selanjutnya, bagi kalangan Muslim yang apriori cenderung netral karena menganggap praktik nasionalisme sekuler menyesuaikan dengan etnis, budaya, dan letak geografis. Dan hal tersebut tidak sesuai jika dialamatkan dengan Indonesia.
Oleh sebab itu, berdasar fakta tersebut menunjukkan bahwa hubungan agama dan nasionalisme tidak selalu selaras, tetapi jika diintegrasikan baik agama maupun nasionalisme akan tercipta kekuatan yang kuat, bahkan dianggap tegaknya nasionalisme berarti tegaknya jihad.
Dalam konteks sejarah, nasionalisme lahir di daratan Eropa abad ke-15 Masehi, yang bertujuan mempersatukan negara-negara Eropa serta memecah belah umat Islam yang tersebar di berbagai negara dengan konsep perbedaan ras, bahasa, hingga tujuan memperlemah umat Islam (Shadily, 1983).
Namun hingga kini, realitas yang ada justru terbalik. Melalui nasionalisme, umat Islam seolah disadarkan agar bangkit dari kungkungan penjajahan kaum imperialis Barat. Hal tersebut misalnya dapat dilihat dari perjuangan kemerdekaan Indonesia yang diperoleh melalui semangat nasionalisme kebangsaan.
Namun demikian, perkembangan konteks politik global dan politik lokal menyebabkan pergolakan agama dan nasionalisme kembali menguat. Dalam tatanan politik global, berkaitan dengan adanya kebangkitan kelompok 'kebangkitan agama' (religious revival) akhir tahun 1980-an. Di Amerika, ada kebangkitan Protestan, di India ada kebangkitan kelompok Hindu, dan di Asia Tenggara khususnya di Thailand dan Srinlangka muncul kebangkitan kelompok Budha (Azra, 2016).
Khusus bagi kalangan umat Muslim, pergolakan mengenai agama dan nasionalisme seiring menguatnya kelompok-kelompok Pan-Islamisme di berbagai negara yang tumbuh pada saat meletusnya Perang Dunia II tahun 1936 yang dipelopori oleh pemikiran Jamaluddin Afghani dan Muhammad Abduh.