Lihat ke Halaman Asli

Setiyo Bardono

TERVERIFIKASI

Staf Kurang Ahli

Menjalin Silaturahmi Budaya di Huma Seni

Diperbarui: 9 September 2018   00:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Workshop Karinding menjadi salah satu acara Kemah Seni. Foto Setiyo

Belasan remaja berlomba kepiawaian membaca puisi, sementara anak-anak tingkat PAUD dan TK antusias mengikuti lomba mewarnai. Di bawah rindang pepohonan, sekelompok seniman duduk lesehan beralaskan terpal bermain Karinding, alat musik dari bilah bambu.

Itulah suasana Kemah Seni di Humaland di kampung sunyi penyangga ibukota yaitu Pondok Ranggon, Kelurahan Sasak Panjang, Kecamatan Tajur Halang, Kecamatan Bogor pada Sabtu (8/9/2018). Untuk mencapai kawasan asri itu, saya harus menyusuri jalan panjang berkelok dan berliku. Bahkan pengendara ojek online yang mengantar saya dari Stasiun Bojonggede beberapa kali berhenti dan mengecek peta untuk memastikan tidak salah jalan.

Frans Ekodhanto, Ketua Pelaksana Kemah Seni mengungkapkan kegiatan ini bertujuan mengingatkan bahwa kesenian termasuk sastra adalah bagian dari kehidupan masyarakat. Seni sudah ada sejak peradaban manusia misalnya seni dalam pernikahan, upacara adat kelahiran atau kematian, seni dalam bercocok tanam, dan lain-lain.

Sekarang ini kesenian itu yang ditampilkan baik oleh swasta maupun pemerintah identik dengan kemewahan. Misalnya pameran seni rupa di gedung ber-AC, pagelaran musik dan tari di panggung-panggung pertunjukan atau gedung kesenian. Kesenian seperti di menara gading sehingga masyarakat tertentu tidak bisa mengaksesnya.

 "Penyelenggaraan Kemah Seni ini ingin mendudukkan kembali seni pada posisinya. Seni itu milik siapa saja baik masyarakat, pemerintah, dan orang keren," terang Frans di sela-sela acara Kemah Seni.

Kemah Seni yang dibuka oleh Kepala Galeri Nasional, Pustanto ini juga menjadi ajang silaturahmi. Semacam persimpangan bertemunya semua kalangan dari anak TK/PAUD sampai yang sudah tua, baik seniman maupun sekedar tukang. Termasuk pejabat, praktisi, maupun ahli-ahli seni seperti dosen kesenian, guru, maupun kurator.

"Kalau zaman dahulu seni atau sastra oleh Rendra dan Widji Tukul menjadi alat perjuangan. Seni sebagai alat pemersatu kita untuk saat ini. Apapun agamamu dan warna kulitmu, kita sama-sama di sini," tegas Frans yang juga penyair muda ini.

Pembacaan puisi oleh penyair Irmansyah. Foto Setiyo

Kemah Seni yang digelar Yayasan Tiara Humaland ini berlangsung 8-9 September 2018. Selain lomba mewarnai dan baca puisi, digelar juga diskusi panel yang menghadirkan pembicara Bambang Asrini Wijanarko (Kurator Seni Rupa dan Ketua Jakarta Art Movement), Lukman A Saelendra (Penyair dan Pemimpin Majalah G-Priority).

Dalam Kemah Seni juga diselenggarakan workshop yang dibagi dalam empat tenda yaitu musik, seni rupa, sastra, dan jurnalistik. Tak kalah pentingnya, Malam Kesenian yang menghadirkan pembacaan puisi oleh para penyair seperti Irmansyah, Iwan J. Kurniawan, Dharmadi, Sihar Ramses Simatupang, dan lain-lain. Pada Malam Kesenian juga menghadirkan pertunjukan musik, tari, dan pertunjukan dari seniman dan masyarakat.

"Aktivitas kesenian ini tidak berjalan sendiri tapi didukung dengan kerjasama para seniman dan warga sekitar mulai dari anak yang baru belajar sampai orang yang sudah pakai tongkat," pungkas Frans.

Huma di Sasak Panjang 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline