Lihat ke Halaman Asli

Setiyo Bardono

TERVERIFIKASI

Staf Kurang Ahli

BPPT Kembangkan Bahan Baku Antibiotik

Diperbarui: 7 Juni 2016   11:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penandatangan MOU antara BPPT - Kimia Farma dan Sungwun Pharmacopia (foto Setiyo Bardono).

Saat ini, sekitar 95 persen bahan baku obat untuk kebutuhan industri farmasi Indonesia masih diimpor dari China (60%) dan India (30%). Padahal secara teknologi Indonesia sudah siap memproduksi bahan baku obat dengan memanfaatkan bahan baku lokal yang melimpah.

Untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku obat, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menjalin kerjasama dengan PT. Kimia Farma Tbk dan Sungwun Pharmacopia (Korea Selatan). Kerjasama ini diharapkan mampu mengakselerasi kemandirian bahan baku obat di Indonesia.

Kepala BPPT, Unggul Priyanto mengatakan kerjasama tripartit ini terkait pengembangan bahan baku obat antibiotik khususnya sefalosporin. “BPPT siap mendorong pengembangan industri antibiotik di Indonesia,” kata Unggul saat penandatangan kerjasama antara BPPT, PT Kimia Farma dan Sungwun Pharmacopia di Gedung II BPPT, Jakarta, pada Senin (6/6/2016)

Menurut laman Wikipedia.org, sefalosporin merupakan kelas antibiotik beta-laktam yang aslinya diturunkan dari fungus Acremonium dan sebelumnya bernama "Cephalosporium". Saat ini Sefalosporin relatif banyak digunakan dibandingkan antibiotik lainnya, karena kemungkinan terjadinya alergi kecil, memiliki sifat meracuni yang rendah dan merupakan antibiotik dengan cakupan luas.

Dalam acara tersebut, Deputi Bidang Teknologi Agroindustri Dan Bioteknologi (TAB) BPPT, Eniya Listiani Dewi mengatakan pasar produk farmasi Indonesia pada 2015 sebesar Rp. 60 triliun dan diproyeksikan meningkat menjadi Rp. 102,05 triliun pada 2020. Peluang yang besar akan kebutuhan produk farmasi tersebut tentunya harus diiringi dengan ketersediaan bahan baku obat yang berkualitas dan mandiri.

“Untuk menangkap peluang pasar yang besar tersebut, harus terus dilakukan inovasi yang memanfaatkan semua sumber daya berbasis kekayaan alam Indonesia yang terintegrasi dari hulu hingga hilir,” ungkap Eniya.

BPPT sebenarnya telah melakukan kajian untuk memproduksi bahan baku obat khususnya antibiotika golongan beta laktam sejak tahun 1990an. Tetapi karena kurangnya dukungan dan tidak ada yang mengawal jadi seolah mati suri.

Namun, BPPT melalui Balai Bioteknologi terus melakukan inovasi untuk menghasilkan teknologi produksi bahan baku obat yang efisien. BPPT juga berupaya menjalin kemitraan dengan semua stakeholder industri kesehatan.

“Sekarang semua sudah melek kesehatan. Kita sangat tergantung pada bahan baku obat sehingga yang sudah ada di BPPT kita angkat lagi dan kita deliver ke Industri. Kerjasama ini merupakan salah satu upaya untuk mempercepat kemampuan BPPT untuk berinovasi,” kata Eniya.

Penasehat Ahli Deputi TAB, Wahono Sumaryono mengatakan sefalosporin dipilih karena kebutuhan pasarnya sangat tinggi, tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia. Saat ini produsen utamanya adalah China dan India.

“Kami mengandeng Sungwun karena mereka punya teknologi yang dikembangkan sendiri. BPPT juga punya. Keduanya akan saling tukar informasi mencari mana yang terbaik yang secara biaya sangat kompetitif. Nanti,teknologi dari Sungwun dan BPPT kita evaluasi mana yang terbaik kemudian digunakan untuk produksi bersama,” kata Wahono.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline