Publik dihebohkan dengan kritikan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) melalui platform media sosial. Kritik itu berupa meme/video menyerupai tubuh tikus dengan Kepala Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Puan Maharani. Pada postingan meme tersebut juga diberikan caption Dewan Perampok Rakyat . Presiden Mahasiswa BEM UI Melki Sedek Huang menyebut kritik tersebut ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap DPR yang mengesahkan Undang Undang Ciptakerja yang kontroversial dan merugikan masyarakat Indonesia.
Ini bukan kali pertama melemparkan kritik terhadap kinerja pemerintah, BEM UI sebelumnya juga pernah mengkritik Presiden Jokowi, pada medio 2021 akun Instagram BEM UI memposting Presiden Jokowi dengan mengenakan Tahta Raja bertuliskan Jokowi The King Of Live Service.
Kritik berupa meme tersebut adalah lumrah sebagai bentuk kritik di alam demokrasi. Namun demikian kritik tersebut memicu kontroversi. Beberapa legeslator di DPR menyebut, kritik tersebut tidak beretika dan jauh dari budaya akademik yang menyodorkan solusi. Pihak lain menyebut, kritik tersebut lepas dari substansial, karena kehebohannya terletak pada personifikasi cacian, sementara esensi kritisnya hilangnya, terlebih tidak menyodorkan solusi yang jelas.
Lalu, pertanyaannya bagaimana kritik yang beretika di alam demokrasi?
Demokrasi adalah sebuah pilihan ideologi yang mensyaratkan setiap masyarakat ikut terlibat aktif dalam berbagai kebijakan sebuah organisasi. Dalam bernegara, demokrasi termanifestasi dengan keterlibatan masyarakat pada setiap kebijakan yang diterbitkan oleh penyelenggara negara atau yang memerintah. Harris Soche, menyebut demokrasi adalah pemerintahan rakyat, artinya kekuasaan pemerintahan melekat pada rakyat, berikut hak asasi manusia bagi rakyat untuk mempertahankan melindungi diri dari setiap paksaan dalam suatu badan yang diserahkan untuk memerintah. Artinya rakyat adalah kunci dalam sebuah kebijakan.
Rakyat memiliki legitimasi mandiri untuk menentukan arah kemajuan sebuah pemerintahan. Dibandingkan dengan otoritarisme monarki, demokrasi tentulah memiliki kelebihan, dimana setiap orang memiliki kebebasan berekpresi dan berpendapat. Intelektual Indonesia Komarudin Hidayat menyebut kebebasan adalah elemen penting demokrasi. Demokrasi tanpa ada kebebasan tak berarti apa-apa. Dan Indonesia pernah mengalami rezim dimana kebebasan berpendapat dibungkam dan dibatasi. Setiap warga tak bebas besyarikat dan mesti melapor kepada pihak berwenang jika ingin berkumpul, rezim itu adalah saat orde baru. Orde dimana terjadi pemberedelan hak-hak berpendapat dan hak untuk mendapatkan informasi.
Kini, selepas reformasi, kebebasan bisa kita raih kembali. Kita bebas bersyarikat, menyampaikan pendapat, berhimpun membuat organisasi atau bahkan membuat partai politik. Kita bebas menyampaikan kritik di muka umum. Terlebih kemajuan media sosial telah memberikan ruang ekpresi dan kritik yang tak terkendali. Celakanya Saat ini banyak kelompok masyarakat terpancing untuk menyampaikan kritik di muka umum tanpa memperhatikan nilai-nilai kepantasan publik. Dengan dalih demokrasi, mereka melabrak etik.
Padahal etika adalah elemen demokrasi lainnya selain kebebasan. Etika adalah nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan yang terbangun dalam lingkungan tertentu. Ia tumbuh berdasarkan kebiasaan dan hasil interaksi dari waktu-waktu sehingga melahirkan nilai moral bersama. Kebebasan yang berbasis pada etika akan melahirkan kesadaran dan kepantasan moral.
Kritik Di Media Sosial
Saat ini , etika demokrasi kita sedang diuji dengan kemajuan teknologi informasi. Media sosial sebagai kreativitas teknologi informasi memberikan kesempatan setiap warga untuk bisa memberikan kebebasan berekpresi dan partisipasi dalam berbagai agenda pemerintahan. Sebagai negara demokrasi tentu saja, keberadaan media sosial bisa menjadi tools untuk meningkatkan partisipasi publik. Media sosial mendorong setiap warga aktif dan massif ikut terlibat dalam persoalan-persoalan publik dan pemerintahan. Di ruang digital ini, masyarakat bisa saling berdiskusi dan bertukar informasi tanpa melihat latar belakang dan kapasitasnya. Berbeda dengan media mainstream, yang seringkali dipengaruhi oleh sikap redaksi dan cenderung menjadi "second reality", maka media sosial sejatinya adalah realitas tanpa sesungguhnya, kenyataan tanpa editing. Maka diskursus yang muncul di media sosial tersebut memberikan feedback terhadap evaluasi dan kebijakan yang dilahirkan secara cepat dan telanjang.
Namun dengan karakternya yang tanpa moderator dan seleksi, seringkali media sosial terjebak pada debat kusir tanpa nilai, pro- kontra yang tak terkendali dan nir etika. Karena itulah pada negara demokrasi yang maju, agar tidak terjadi kekacauan pentingnya elemen lain ditegakan, Komarudin menambahkan pentingnya penegakan hukum. Hukum harus menjadi panglima untuk mengawal kebebasan dan etika moral.