Lihat ke Halaman Asli

Banyaknya Kecurangan dalam Pilpres 2014 Menunjukkan Ketidaksiapan Kita Berdemokrasi

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sampai detik ini sudah puluhan kecurangan, baik yang sudah sangat pasti buktinya di lapangan, serta sudah dilaporkan ke KPU dan Bawaslu, maupun yang masih bersifat dugaan-dugaan, terus saja bertambah-tambah. Kerugian yang paling banyak ditimbulkan dari berbagai bentuk kecurangan ini adalah pada kubu Jokowi-JK.

Berbagai bentuk kecurangan ini menunjukkan bahwa kita memang belum siap berdemokrasi. Yang bertanding belum pernah siap untuk kalah. Kubu yang sudah merasa kalah, masih berupaya dengan cara APAPUN untuk meraih kemenangan, termasuk walau harus dengan memanipulasi suara di lapangan, di TPS, di KPPS, seterusnya. Kalau katanya sudah siap untuk menang dan siap juga untuk kalah, yo kenapa masih terus menerus berusaha meraih kemenangan dengan cara-cara culas, licik, curang, dan kotor seperti itu?

Kalau ada yang bilang ini kesalahan teknis saja, itu namanya omong kosong! Ini bukan kesalahan teknis, ini tindak kejahatan yang terorganisir dan terencana. Kalau hanya satu dan dua kasus okelah kesalahan teknis, tapi kalau banyak kasus? Masih kesalahan teknis? Bukan main berdosanya teknis itu ya dijadikan tudingan terus. Mana boleh kesalahan teknis terjadi sudah puluhan banyaknya, dan semuanya terindikasi mencurangi perolehan suara Jokowi-JK? Human error yang disengaja mungkin lebih tepat kali ya? Tentu dalam hal ini ada tangan-tangan setan yang bermain di sana. Mereka yang tidak takut dosa, masih suka curang dan mencuri suara, memanipulasi laporan, dan melakukan apapun, menghalalkan segala cara demi meraih kemenangan. Padahal saat ini kita sementara berada di bulan Ramadhan dimana kita seharusnya mampu menahan diri dari perbuatan culas dan dosa.

Setelah merasa galau, dan ketar-ketir atas semua hasil Quick Count yang sudah pasti mendekati kebenaran hitungannya, apalagi bila itu dilakukan oleh lembaga yang melakukannya sekredibel RRI dan Kompas, maka cara-cara licik mulai dilakukan. Terlihat begitu memalukan bila ada upaya-upaya mengakali kekalahan dan berusaha meraih kemenangan dengan cara-cara seperti itu.

Sekarang malah DPR RI Komisi I berencana memanggil RRI untuk mempertanyakan kenetralan mereka. Ini juga aneh, pantas saja dulu Gus Dur pernah berkata bahwa DPR itu tak ubah dari sekumpulan anak-anak TK. Bodoh. Jelas RRI berhak melakukan Quick Count, karena mereka punya lembaganya dan QC ini bukan cara menghitung abal-abal, ada metode ilmiahnya, metode statistikanya. Justru QC harus dilakukan sebanyak mungkin lembaga kredibel dan terdaftar di KPU, sama seperti RRI ini yang tercatat di KPU Lembaga pemerintahan justru harus ikut melakukan QC seperti ini sesuai kapasitas kenetralan mereka, supaya hasilnya juga dapat dipertanggungjawabkan penuh.

Kenapa harus banyak QC dari lembaga-lembaga kredibel, adalah supaya ada semacam alat control untuk menjaga terjadinya segala macam bentuk pemanipulasian suara, dan mengawal suara-suara tersebut. RRI dan Kompas sudah membuktikan selama ini hasil QC mereka itu sangat mendekati hasil akhir real count. Untuk apa diragukan? Mungkin kalau QC ini berpihak ke kubu PS-HR, tidak mungkin komisi I ini akan memanggil RRI. Sangat tidak mungkin. Ini hanya akal-akalan mereka saja, karena hamper semua orang di situ adalah sekawanan pendukung kubu nomor satu! Ini sudah sangat terang seterang Kristal.

Dari dulu juga Quick Count sudah sering dilakukan tidak ada masalah. RRI sudah sering melakukannya juga tidak ada masalah, kenapa sekarang mau dipermasalahkan? Halah, ini hanya akal-akalan saja.Alasan orang-orang yang tidak siap kalah dan tidak mau kalah. Lambang dari tidak siap kalah. Apakah ketidaksiapan ini karena sudah keluar banyak sekali duit, banyak sekali upaya, dan banyak sekali kampanye hitam dan toh nggak menang-menang juga? Walahualam deh…

Cara-cara lain yang dipakai adalah dengan terus menyiarkan yang katanya hasil real count pusat tabulasi suara nasional PS-HR. Yang ternyata kesemuanya bohong belaka. Terbukti hasil yang dimuat di harian Republika itu bukanlah hasil real count tetapi hasil copy paste dari PREDIKSI kemenangan menurut mereka (didukung sepenuhnya PKS) yang sudah dimuat jauh sebelum pencoblosan, yaitu pada tgl 5 Juli lalu. Setelah gempar, eh buru-buru hasil real count itu dicabut dari Republika. Ini untuk apa coba kalau bukan untuk membohongi rakyat? Tidak siap menerima kekalahan. Real count abal-abal itu pun segera dihentikan. Menanggung malu besar.

Belakangan Direktur PUSKAPTIS, lembaga survey yang websitenya saja pakai yang gratisan punya di blogspot itu, dalam sebuah wawancara TV menyatakan bahwa hasil QC mereka hanya berlaku beberapa jam saja pada hari itu, ha ha ha lucu bin aneh. Itu tandanya dia sudah meralat hasil QC yang memenangkan kubu nomor satu itu. Sedangkan dua lembaga survey lainnya hanya memenangkan PS-HR secara tipis, tidak lebih dari 1%, hanya beda 0,sekian persen, padahal margin of error saja 1%. Ada apa ini? Itu tandanya hasilnya tidak layak disebutPS-HR menang, sebab itu artinya bisa imbang dan bisa juga justru kubu Jokowi-JK yang menang sesuai dengan margin of error yang 1%. Dua lembaga ini agak pinter dikit untuk menghindar dihujat kiri-kanan karena menampilkan hasil yang tidak sesuai kaidah, yaitu dengan memenangkan prabowo-Hatta tidak lebih dari 1% margin. Jadi dibuatlah selisih yang tidak lebih dari 1% tersebut supaya bisa ngeles nantinya ketika dipertanyakan. Buktinya mereka juga tidak mau hadir ketika diundang PERSEPI untuk dimintai pertanggungjawaban hasil QC.

Jadi kalau demikian, dari 11 lembaga survey, 8 membuat hitungan bahwa Jokowi-JK unggul dengan perbedaan sekitar 5%, dan 2 lembaga menyatakan seri (margin of error 1%), PUSKAPTIS menarik kembali perhitungan mereka itu, jadi tinggal 1 saja lembaga survey yang menghitung QC yang menyatakan Prabowo-Hatta menang atau unggul dalam QC tersebut. Terus kalau begitu atas dasar apa kubu nomor satu sudah memasang begitu banyak spanduk kemenangan dan berkoar-koar ke sana ke mari bahwa merekalah yang menang? Atas dasar 1 lembaga survey yang tak jelas itu? Ha ha ha sungguh ironis dan menggelikan. Berarti mungkin mereka juga sudahn punya rencana A, B, C, untuk berusaha tetap menang. Meskipun nantinya KPU memberikan hasil tak jauh berbeda dengan hasil dari QC tersebut. Waspadalah!

{Prabowo juga sempat mengatakan the Jakarta Post itu dengan sebuatn brengsek. Kata-kata yang tidak pantas keluar dari mulut seorang calon Presiden. Jangan2 nanti kalau jadi Presiden, semua rakyat yang berbeda pandangan dengan dia akan diteriaki brengsek. Payah sekali bapak satu ini}

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline