Lihat ke Halaman Asli

Johanes Sutanto

Penulis Pemula

Awas, Bahaya Inflasi Gaya Hidup di Dirimu

Diperbarui: 17 Juli 2017   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semakin tinggi pendapatan, semakin besar pengeluaran seseorang (Foto: https://www.fimela.com)

Sudah seharusnya kenaikan pendapatan berdampak pada kenaikan jumlah tabungan atau investasi, bukannya peningkatan pengeluaran yang hanya mengikuti nafsu dan keinginan semata.

Ketika masih kuliah, keuangan kita masih banyak disokong oleh orang tua. Pengelolaan uang pun bisa dikatakan masih terkontrol. Begitu memasuki dunia kerja, praktis kebanyakan pengelolaan uang sepenuhnya berada di tangan kita masing-masing.

Saat memasuki dunia kerja dan memiliki pendapatan sendiri inilah seseorang sebenarnya ditantang untung benar-benar mandiri dalam mengelola keuangannya. Tak mengherankan, banyak orang tua yang biasa berpesan pada anaknya yang memasuki dunia kerja untuk tidak boros.

Namun apa daya, untuk tidak boros di perkotaan itu tidak mudah. Kota yang hadir dengan daya tarik konsumerismenya ini menawarkan apa yang dinamakan dengan "virus" gaya hidup modern. Ibarat "virus", ia menggerogoti daya tahan diri seseorang untuk tidak boros dan hedon. Yang tak tahan dengan serangan virus ini, sudah pasti keuangannya akan amburadul, meski pendapatan seseorang mengalami kenaikan.

Penasaran dengan virus gaya hidup modern bernama inflasi gaya hidup? Inflasi gaya hidup adalah situasi dimana semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin besar pengeluarannya. Ironisnya, meski pendapatan naik, nyatanya porsi tabungan dan investasi justru stagnan.

Harus diakui inflasi gaya hidup selain disebabkan oleh faktor eksternal seperti pasar yang kian memesona dan teknologi yang melaju kencang, juga faktor internal karakter seseorang yang gampang tergoda sehingga menjadi konsumeris dan hedonis.

Begitu lulus kuliah dan mendapatkan gaji, seseorang cenderung untuk mengubah gaya hidup sesuai dengan pendapatan yang didapatkan. Begitu juga saat mendapatkan kenaikan gaji, seseorang juga cenderung meningkatkan pengeluarannya. Tak ada yang salah dengan semuanya ini. Yang tidak wajar adalah semua yang sifatnya berlebihan. Padahal seharusnya, kenaikan gaji memberi peluang untuk meningkatkan nominal uang di tabungan atau investasi.

Banyak dari kita yang berdalih, kenaikan gaji hasil dari kerja keras sehingga harus dinikmati. Tak ada yang salah deng semua ini. Salahnya, cara menikmati yang berelebihan.

Kalau sebelum gaji naik seseorang memilih naik angkot, begitu mendapatkan kenaikan gaji ia memutuskan untuk naik taksi. Ia merasa memiliki kelebihan uang. Kenaikan gaji pun terkuras salah satunya di pos transportasi, belum di pos yang lainnya, seperti kalau biasanya sebulan sekali nonton film di bioskop, kini menjadi 2-3 kali dalam sebulan. Lagi-lagi pengeluaran naik.

Ada juga, sebelum gaji naik, ia biasa makan nasi kucing, begitu gaji naik, makan malam pun pindah ke restoran atau kafe. Sama halnya, sebelum gaji naik, pergi keluar kota biasa memilih naik kereta, begitu gaji naik, keluar kota terus naik pesawat. Walhasil, gaji naik, pengeluaran naik, bukannya tabungan atau investasi yang naik.

Ada lagi, sebelum gaji naik, seseorang biasa naik taksi, begitu gaji naik dan merasa merasa ada kelebihan uang, ia memutuskan untuk kredit mobil. Pengeluaran transportasi pun membengkak mulai dari uang cicilan, bahan bakar, biaya perawatan, tol hingga biaya parkir. Jelas dengan sendirinya, pengeluaran lebih besar dari kenaikan gaji.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline