Lihat ke Halaman Asli

[Untukmu Ibu] Suksesku untuk Ibu

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nomor Peserta389.

Inilah hidupku. Aku memang terlahir tanpa ayah, mereka bercerai saat umur pernikahannya masih dua tahun. Semenjak usaha ibu bangkrut, ibu beralih profesi menjadi pemulung. Ini alasannya, ayah menceraikan ibu. Saat itu ibu mengandungku dengan usia kandungannya 8 bulan.

Saat itu ibu menjalani hari – harinya hanya sendiri. Semua keluarganya berada diluar kota. Di usia kandungan ibuku yang ke 9, ayahku tetap saja tidak menjenguk atau menanyakan bagaimana kabar ibu. Mungkin cinta ayah pada ibu telah pudar, padahal ayah telah menjanjikan janji suci kepada ibu. Tapi, itu cuma kiasan sementara.

Malam hari sekitar pukul 23.00 ibu merasakan sakit yang amat luar biasa. Perutnya seakan keras sekali, di tahannya sakit itu. Dia bingung kemana dia meminta pertolongan, dia putuskan pergi membawa tas kecil berisi uang yang tidak banyak. Dia mencari penduduk untuk meminta tolong, namun hasilnya nihil. Malam gelap gulita yang sangat dingin menusuk tulang rusuk ibu. Kedinginan dan kesakitan, itu yang dia rasakan.

Jeritan keras sekerasnya ibu memegangi perutnya. Setetes demi setetes air mata jatuh hangat di kedua pipinya. Berharap pertolongan datang dengan cepat agar bayinya dapat menghirup nafas dan melihat dunia yang sejuk kala itu. Berjalanlah ibu di kesepian malam yang mencekam sembari menjerit kesakitan yang di alaminya, terus memegangi perutnya yang didalamnya ada sesosok bayi suci sangat anugerah. Duduklah dia dibawah pohon yang amat besar, menangislah dia tersedu – sedu mengingat bayinya. Apakah bayinya akan selamat dan bahagia bersamanya? Ataukah pergi sangat jauh meninggalkannya? Pikiran ibu saat itu hanya satu. “Aku mohon, aku hidup bahagia bersama bayiku.”

Silau pancaran cahaya putih yang datang mengarah kearah ibu, ibu melambaikan tangan pada cahaya itu. Rupanya, seorang pemuda. Ibu meminta pemuda itu untuk mengantarkannya ke rumah sakit untuk melahirkan bayinya. Perasaan cemas dan khawatir juga datang merasuki jiwa pemuda itu, pasalnya dia tidak tega melihat ibu yang menangis kesakitan dan harus ditinjak lanjuti oleh medis. Kecepatan motor pemuda itu melebihi aturan, dengan tergesa pemuda itu bersemangat membantu ibu. Untunglah, ketika sampai didepan pintu masuk rumah sakit, para ahli medis juga lantas membawa ibu menggunakan kereta dorong ke ruang bersalin.

Sampailah di ruangan putih dengan banyak tirai. Nafas ibu terengah – engah, tidak kuat lagi dengan ini. Tim medis sigap mengeluarkan semua tenaganya, memberi semangat pada ibu untuk kuat melewati tahap persalinan.

Tubuh ibu mulai gemetaran, rasa kencang dan menendang di perutnya. Keringat dingin mulai bercucuran menyeringai tubuh ibu. Mata hanya sanggup menatap langit – langit ruangan, tak sanggup melihat di sekelilingnya. Tubuh tergolek kaku, kepala pening mengintar malam. Bejeritlah dan berteriaklah ibu sekuatnya, menggenggam telapak tangannya seakan berseru “Aku kuat! Aku bisa!” Matanya terbelalak mengartikan bahwa dia siap melaksanakan ini. Nyaring terdengar jeritan dan tangisan bersahut – sahutan dalam satu momen.

Rasa percaya ibu akan menghadirkan sesosok bayi suci tercapai sudah, kurang lebih dua puluh menit ibu mempertaruhkan nyawa, mengeluarkan seluruh energynya tanpa sungkan – sungkan. Sakit, tangisan, jeritan, getaran, dan kekhawatiran kini terlewat sudah. Semua terbayar akan usaha ibu yang begitu seperti pahlawan sekaligus malaikat cantik.Ibu puas dengan usahanya setelah mendengar tangisan bayi yang begitu anggun, tersenyumlah ibu. Dia bahagia telah berhasil memberi kesempatan sesosok bayi untuk menikmati alam bebas dan bahagia bersamanya. Ibu kelelahan, terlelaplah dia dalam tidur dan membawanya tenang kedalam mimpi.

Terbukalah mata ibu setelah dia menikmati kelelahannya, suasana pagi yang sejuk saat itu membuatnya bersemangat. Terdengar ketukan dibalik pintu, ternyata perawat membawa sesosok bayi perempuan cantik dan bertubuh sempurna pada ibu, itu adalah aku. Aku yang bernama Fatma Sartika. Di gendonglah tubuh kecilku, terasa hangat dan nyaman ketika aku berada di peluknya. Di ciumnya kedua pipi mungilku, senyum lebar menghiasi bibir ibu. Tangispun tak luput darinya, dia menangis. Ketika aku lahir, tidak ada yang memberiku adzan. Ibu mengadzani tepat ditelingaku, adzan yang begitu merdu seakan membuat aku menangis. Ya, aku menangis bahagia. Ibu adalah orang pertama yang menyambut kedatanganku dengan adzan yang dilantunkannya. Diciumnya pipiku sekali lagi, lebih dalam. Tangisanku dan tangisannya menyatu dalam kebahagiaan.

Perawat tadi memberi ibu sebuah kertas kecil pemberian dokter, dibacanya dengan menyeluruh. Tulisan dikertas itu begitu menyayat hati, aku terlahir cacat. Bukan cacat dibagian organ, melainkan aku adalah seorang anak perempuan penderita albino. Pigmen kulit berwarna putihku terlalu banyak, kulitku begitu sangat putih dengan bercak – bercak merah yang begitu menyebar disekujur tubuhku. Sontak pikiran ibu terhambur, bibirnya begitu membisu, bercampur rasa kacau dan haru. Dia tidak menyangka, bayi yang dinantikannya menderita penyakit ini. Dia merasa bersalah tidak becus merawatku selama dalam kandungan, makanan yang dimakan ibu saat aku dikandungan adalah makanan yang tidak sehat, makanan bekas dan sesekali telah busuk. Perekonomian berperan penting kala itu.

Datanglah pemuda semalam yang menolong ibu, dia senang melihat ibu menggendong bayi dengan dekapan yang begitu erat. Ucapan selamat diucapkannya. Diajaknya ibu untuk pulang, ibu kebingungan. Ibu belum membayar biaya rumah sakit, tanpa basa basi pemuda itu menyerahkan kwitansi lunas pada ibu. Ibu sangat berterimakasih dan memeluk pemuda itu sedih.

Hari demi hari, ibu merawatku, menyusuiku, menghiburku, dan menemaniku. Di ruangan sempit dengan kasur kusut aku diletakkan disana. Tanpa bantal dan guling. Hanya bersandarkan sebuah ayat Al-Qur’an diatas kepalaku. Seru tangisku tiap malam yang begitu mengganggu ibu, kala ibu kelelahan aku masih saja tetap merepotkannya. Entah aku minta di peluk, dan menangis tanpa alasan. Ibu masih saja tetap menghiraukanku walau raganya telah letih selama seharian. Tanpa permintaan, ibu selalu mau bersemangat untuk menenangkanku saat ku menangis. Berpuluh – puluh jam aku telah menghabiskan waktu ibu dengan sia – sia, tetapi ibu tidak sedikitpun mengeluh aku berbuat seperti ini. Dimatanya, aku tetap sesosok bayi perempuan yang menyenangkan, lucu dan tentu saja dia menyayangiku.

Pagi, siang, malam ibu memberikanku ASI yang membuat tubuhku kembali bersahaja. Air murni dari ibu menjadi pusat penyemangatku, tak sungkan ibu menyusuikku setiap saat. Saatku menangis, di gendonglah aku dengan kain sutra lembut. Begitu nyaman aku didekatnya, digoyangkan badanku, dinyanyikanlah begitu banyak lagu sampai aku tertidur dan tangisanku reda. Setiap hari, hanya itu yang bisa aku lakukan. Menangis, buang air kecil, buang air besar, muntah. Di bereskan semua dengannya tanpa rasa jijik. Mengharapkan imbalan pun tidak. Tidak akan pernah.

Aku sebagai anak albino, seseorang yang melihatku pasti akan berfikir aku manusia alien. Tidak normal. Keanehan kulitku membuat mereka begitu heran dan takut, takut untuk mendekatiku. Rasa minder, selalu menghatuiku setiap waktu. Apakah aku dapat membahagiakan ibu dengan kondisi seperti ini? Melihatku saja, orang takut. Apakah mereka masih mau menerimaku? Ah, tidak peduli. Tujuan hidupku adalah membahagiakan ibu.

Saat umurku 6 tahun, aku sudah wajib untuk mengikuti Sekolah Dasar, ibu membelikan aku baju seragam, sepatu, alat tulis dan buku. Walaupun semuanya bekas, aku senang. Aku tetap bersemangat sekolah. Semua orang terkejut melihatku. Segala ocehan, cacian, komentar, banyak kudapatkan. Tapi semua itu aku rangkum sebagai pendorong kesuksesanku. Orang sukses harus mau menerima segala cacian. Aku percaya juga bahwa “Kesempurnaan bukan hanya dari fisik, yang terpenting hati.” Aku bahagia bersekolah, mengenal teman yang mungkin hanya sedikit dan suka menyakitiku, aku suka sekali dengan menggambar. Ketika pelajaran seni, aku menggambar sesukaku. Menggambar pemandangan seperti coretan yang aku buat di dinding kamar. Begitu lucu.

Hobi menggambarku telah aku asah sedari kecil sampai umurku 16 tahun, bertahun aku menggambar apa saja yang aku bisa. Sampai suatu saat, aku tertarik pada melukis. Kuperdalam lagi memperlajari teknik melukis, ku buat sketsa lukisan mulai dari pemandangan, gambar para ilmuwan maupun abstrak. Semua aku tuangkan disana, semua lukisanku aku pasang diruang tamu, ibu melihatnya senang.

Suatu hari, datanglah teman ibu sekaligus pelukis terkenal kerumah. Namanya Pak Darma, dia hanya sekedar ingin melihat lukisanku yang diceritakan ibu. Pak Darma mengajakku untuk lomba melukis besok, aku ikut. Meminta doa restu pada ibu adalah aksi awalku.

Tiba saatnya perlombaan, ku gariskan pensil dikertas putih itu. Membuat sketsa seorang wanita berkerudung, dengan baju yang begitu sederhana. Wanita itu berdiri melambaikan tangan dengan senyuman manis dibibirnya. Saat aku berikan cat warna pada gambarku, warnanya begitu soft dan tidak terlalu norak. Perlahan namun pasti kulukis dengan hati bangga, lukisanku terpandang nyata. Ku corehkan kembali kuasku sampai penuh warna. Selesailah karyaku, ku tatap lukisanku. Ini sungguh seperti wajah ibu, aku berhasil mengekspresikan imajinasiku. Setetes air mataku jatuh mengingat ibu, pasti dia sedang menunggu informasi tentang perlombaanku sekarang.

Kukumpulkan karyaku pada juri, sambil menunggu pengumumannya aku duduk bersama Pak Darma disudut ruangan. Hati berdetak, berharap suatu miracle akan datang. Berdoa aku pada Tuhan, aku ingin membahagiakan ibu, aku bisa seperti mereka yang sukses. Mereka begitu dipandang semua rakyat. Microphone juri mulai bersuara, mengumumkan siapa yang paling terbaik. Ternyata, akulah yang menjadi pemenang! Mataku terbelalak kaget, Tuhan adil, Tuhanmemberiku kenyataan indah. Ku peluk Pak Darma, tangisku meledak ketika juri menyerahkanku hadiah yang begitu berarti. Teringatku pada ibu, wanita kuat yang selalu mewarnai hariku. Membimbingku, walau banyak keterbatasan yang dia punya. Aku dan dia satu jiwa, saling merasakan batin.

“Ibu..akulah anakmu. Anakmu telah berhasil mengejar mimpinya. Terimakasih atas perjuanganmu, perjuangan yang begitu indah telah membuahkan hasil. Aku tau aku cacat, tapi aku bisa seperti mereka. Aku bisa membalas jasamu, begitu haru. Suatu saat, kita pasti bisa merasakan indahnya hidup berdua. Tanpa kesedihan atau kegelisahan sedikitpun. Tuhan, sampaikan salamku pada ibu. Salam cintaku, sayangku dan segala salam. Jangan pisahkan kami didunia, satukan selalu kami dalam segala hal. Eratkanlah raga kami sampai tiba di surga-Mu.”

Karya : Servita Ramadhianti

NB : Untukmembaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (sertakanlink akun Fiksiana Commnuity sebagai berikut ini :http://www.kompasiana.com/




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline