Setahun sudah saya menetap di Bali, sendiri. Pada awalnya masih rutin bolak balik Jakarta hampir setiap bulan, tapi makin kesini terpaksa di rem kalau tidak ingin tabungan jebol. Apalagi gawe saya di Bali hanya belajar yoga dan sesekali jadi asisten intruktur yoga yang bayarannya tidak bisa untuk membayar tiket pesawat bolak-balik Bali-Jakarta-Bali.
Delapan bulan pertama saya memilih Denpasar sebagai domisili. Pilihan jatuh di sebuah paviliun mungil di daerah Renon, tidak jauh dari lapangan Niti Mandala yang asri. Tiap sore saya bersepeda ke sana, berlatih yoga bersama komunitas Seger Oger. Badan sehat, hati tentram, kantong nyaman karena yoganya gratis tis dan orang-orangnya super baik layaknya keluarga besar.
Pengalaman hidup sendiri terpisah jauh dari keluarga besar sungguh suatu tantangan. Baik buruknya sebanding. Sukanya mendapatkan kebebasan penuh, mau tidur seharian, mau gak mandi, mau kamar berantakan, mau jungkir balik, monggo wae... Dukanya apa-apa musti sendiri. Dari bersih-bersih kamar, nyari makan, belanja ke supermarket sendiri (untungnya belakangan ada sahabat yang rajin nawarin nemanin).
Perkara belanja kebutuhan kulkas, saya paling suka ke pasar tradisional Badung. Sebelum becek dan acak kadut karena sedang direnovasi seperti sekarang, pasar Badung tempat yang menyenangkan untuk belanja sayur mayur, buah, dan jajanan pasar khas Bali. Sekaligus tempat berwisata yang asik! Sangat jamak menemukan turis asing maupun lokal menenteng kamera sibuk memotret di tengah keramain pasar. Cuma repotnya bagi saya yang hanya punya sepeda dan perlu ke tempat yang rada jauh, di Denpasar sulit menemukan angkutan umum, bahkan sangat langka. Kalaupun ada mereka hanya melewati jalur tertentu dan kadang kita harus pintar menawar untuk sampai ke tempat tujuan. Tarifnya kadang melebihi tarif taxi. Untuk mengakalinya kadang saya naik ojek dari rumah, turun di tempat yang dilalui angkot menuju pasar Badung. Pulangnya, karena bawa belanjaan banyak untuk dua minggu sekaligus, saya menyewa sang angkot menghantar sampai depan rumah.
Banyak pengalaman menarik (dan menyebalkan!) selama berinteraksi dengan angkot-angkot ini. Pengalaman menyebalkan pertama saya dapat ketika akan ke pasar badung sore-sore jam tigaan. Dengan semangat 45 dan senyum ceria saya menyetop angkot yang lewat. Bertanya arah sebelum naik. Begitu sesuai arah yang dituju saya pun naik sambil seyum ramah pada penumpang yang berada di dalam, tiga orang ibu-ibu dengan keranjang besar dan seorang bapak setengah tua bercelana batik dan kumis tebal. Saya sudah terbiasa dengan keramahan orang-orang Bali yang spontan. Dan pertanyaan mereka yang standar seperti asal dari mana, tinggal dimana, mau belanja apa koq sampe ke pasar Badung, saya jawab dengan ketulusan yang sama. Namun ketika si bapak berkumis tebal mulai bertanya "disini tinggal sendiri?' saya cukup kaget. Tapi karena tidak berprasangka apa-apa, saya jawab 'iya' dengan lugunya. Dan pertanyaan yang menyusul lebih membuat kaget lagi, "sudah menikah?" Untuk sesaat saya berpikir, dan "Iya, sudah' jawab saya tidak yakin. "Sudah punya anak?" kejarnya. Busyet ! "Sudah, dua." jawab saya tanpa berpikir lama. Dan kurang ajarnya, entah saya yang mulai negative thingking atau bapak itu yang kegatalan, saya merasa tangannya sekilas menyentuh kaki saya. Kebetulan kami duduk bersebelahan. Saya mulai ketakutan bercampur marah dan berpikir keras apa yang harus dilakukan. Saya lihat tiga ibu-ibu satu angkot sedang asyik berbicara. Dan posisi duduk mereka agak di dalam, sedangkan saya dan si bapak berkumis agak di depan dekat pintu. Waduh!
"Koq suaminya tidak ikut? sudah lama menikah" tanya si bapak berkumis itu lagi sebelum saya sempat menemukan akal. Oh sangat tidak sopan! Saya benar-benar jengkel. "Sudah sepuluh tahun. Suami saya sedang berdinas di Jawa dan sebentar lagi pulang. Suami saya ABRI!" jawab saya menekankan kata ABRI. Efeknya sangat manjur, si Bapak berkumis terdiam cukup lama. Dan ketika membuka mulut lagi, pertanyaannya lebih netral "diangkatan apa suaminya bertugas bu...?"
Turun dari angkot itu, saya berpikir keras. Apa yang salah. Cara berbusana saya cukup sopan. Tshirt dengan celana panjang training. Tidak ketat menonjolkan lekuk tubuh. Bahkan terkesan tomboi. Wajah standar tanpa make-up sama sekali. Memang sih kentara wajah pendatang. Tapi pasti bukan itu yang menjadikan si Bapak tadi bertanya macam-macam yang menjurus pribadi dan bagi saya sangat tidak pantas. Entah si Bapaknya yang berkelakuan negative atau dia memang tidak menganggap pertanyaan itu tidak pantas, entahlah.
Pengalaman menyebalkan berikutnya kali ini dengan supir angkot. Waktu itu saya hendak pulang ke rumah dari salon langganan sehabis creambath. Setelah tarif disepakati, saya pun naik. Hanya ada satu penumpang pria di dalam. Si supir bilang akan mengantar dia terlebih dahulu. ok. Ternyata tujuan si pria lumayan jauh di sanur. Singkat kata akhirnya sang angkot otw mengantar saya pulang. Nah saat sedang melaju di jalan, si supir mulai nanya-nanya. Awalnya standar, 'tinggalnya di jalan itu ya mbak', 'asal dari mana', 'kerja apa' bla bla... Sebenarnya saya malas menjawab, tapi dasarnya saya orang yang tidak enakan dan berusaha bersikap sopan, saya jawab ala kadarnya. Yang mengerikan, si supir nanya sambil sering menoleh ke belakang, menatap saya seakan mengamati. Tentu saja saya mangkel dan memerintahkan dia agar menyupir yang benar dan menatap lurus ke jalan. Bodo amat dia mau tersinggung!
Kali ketiga pengalaman super tidak mengenakkan masih berhubungan dengan supir angkot. Kisahnya saya dan seorang teman hendak pulang ke rumah masing-masing dari suatu acara di pantai sanur. Hari sudah menjelang malam. Badan lelah seharian berkutat mengurus acara sebagai panitia. Taxi ditunggu tidak ada. Ojek langganan sedang mengantar penumpang ke Kuta. Kebetulan melintas angkot dan berhenti persis di depan kami menawarkan jasa. Setelah tawar menawar tarif kami pun naik. Angkot melaju dengan penumpang hanya kami berdua. Di sebelah supir duduk seorang wanita. Sepertinya istrinya karena dari tadi dia menghitung uang yang lalu ditaruh di laci mobil. Di pertengahan jalan angkot kami terpaksa memutar karena jalan ditutup untuk upacara keagamaan. Nah dari sini mulai timbul masalah. Si supir enggan mengantar kami sampai tujuan dengan alasan jalannya jadi jauh. Dia meminta tarif dilebihkan. Kami setuju tarif dinaikkan sedikit karena memutarnya tidak terlalu jauh. Saya bahkan manawarkan jalan yang lebih singkat. Si supir tancap gas tapi lewat jalan besar yang tentu saja menjauh. Ketika saya ingatkan, dia malah membentak menyuruh saya nurut saja. Walau kaget dibentak, saya diam saja. Teman saya memegang tangan saya menenangkan. Tiba-tiba angkot itu berhenti dan dengan kasar si supir menyuruh kami turun. Tentu saja saya protes karena belum tiba di tujuan. Namun si supir mengatakan sudah tidak jauh lagi kami bisa jalan kaki. Saya tetap protes mengatakan dia sudah setuju mengantar ke tujuan dengan tarif yang sudah disepakati. Dan yang mengejutkan, jawabannya kasar sekali. Mengatakan kami ini perempuan tidak tau diri seperti putri raja saja memerintah dia. Setelah itu dia meminta ongkos!
Ah, saya bersyukur sekarang sudah bisa menyetir motor!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H