Lihat ke Halaman Asli

Takdir yang Mempertemukan Kita

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SIALAN..!!!!

Batinku menggeram penuh kejengkelan. Kubanting pintu sekeras-kerasnya hingga bunyi berdebum itu menggaung dengan riangnya ke seantero cakrawala. Aku berlari. Berlari dengan kencang meninggalkan pelataran sunyi. Perih, pedih, luka dan kecewa menganga dengan pongahnya dan mengoyak-ngoyak hatiku.

Sisa-sisa puing-puing kepercayaan itu, kini telah runtuh tak bersisa. Serpihan-serpihan kekuatan yang tertatih-tatih kukumpulkan dengan penuh kesabaran itupun kini lenyap menguap tanpa jejak.

Aku kesal. Lelah. Kecewa.

Kecewa karena keadaan ini tak dapat aku kendalikan. Kecewa karena perjuangan ini harus tak berujung. Kesal karena hati ini menjadi terlalu sibuk memikirkan semua rasa sakit dan perih ini seolah sebuah penderitaan yang tak berakhir. Dan ini semua melelahkan...

Aku tak pernah menginginkan pertemuan ini terjadi. Ya, semua berawal dari pertemuan itu. Pertemuan singkat yang merubah segalanya. Pertemuan konyol yang menjadikan aku harus merasa berbeda. Hohoho,, itu benar-benar menyebalkan.

Sore itu, aku dan senja tengan berjalan menyusuri bibir pantai dengan riangnya. Air laut terlihat berwarna keemasan, senada dengan jingga yang berpendar di lengkungan cakrawala. Pancaran-pancaran cahaya itu membentuk pantulan-pantulan indah layaknya ribuan berlian berwarna oranye yang bertaburan diatas hamparan lautan. Aku tersenyum simpul. Jingga tengah menari dengan indah.

Namun, itu tak berlangsung lama. Mentari sudah tak ingin berlama-lama bertengger di singgasananya. "Hari yang melelahkan" ungkapnya. Ya, memang seharian ini ia harus meladeniku dengan tarian-tarian yang membuatnya cukup letih. Yaahh, karena memang usianya yang tak muda lagi sih. Hahaha, salah sendiri mau menuruti segala keinginanku, batinku.

Langitpun mulai meredup. Senja pun telah bersiap-siap hendak meninggalkan dermaga cakrawala. Ia menepuk pundakku pelan.

"ayo pulang senja, sudah hampir petang. Untuk apa kau terus disini? Tidakkah kau sudah lelah setelah seharian menari diatas sana?" tanyanya.

"Lagipula, sebentar lagi malam akan tiba. Ia akan menenggelamkan segala cahaya apapun yang ditemuinya. Kau hanya akan tak terlihat dan meraba-raba jalan pulang" ujarnya lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline