Lihat ke Halaman Asli

Aku Pembunuh Sahabatku...!

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah seminggu aku tidak pernah melihat senja hadir di cakrawala, kemana dia? batinku mengira-ngira keberadaanya. Aku hanya terdiam di sudut kelabu, menyaksikan angin pilu masih berdesir lembut menemani hari-hariku. Kali ini benar-benar sepi. Senja seolah menghilang tanpa jejak. Ia tidak ada dimanapun, bahkan ditempat-tempat favoritnya sekalipun. Hari ini telah habis kugunakan untuk menyusuri cakrawala, mencari dan bertanya kesana kemari tentang keberadaan senja.

Oh Tuhan, Semoga tidak terjadi apapun padanya. Aku benar-benar khawatir, sekaligus merasa bersalah. Teringat kejadian waktu itu, saat aku meninggalkan senja sendirian di bibir pantai yang mulai menggelap. Oh tidak!! Aku ingat. Saat itu aku meninggalkan senja bersama malam. Dan aku meninggalkannya sendiri disana?? Jeritku dalam hati. Kali ini aku benar-benar berfikir telah menjadi penyebab menghilangnya senja selama seminggu ini.

Senja hari ini masih sama. Sekelabu biasanya. Tanpa cahaya. Tanpa sinar apapun. Dan tanpa jingga tentunya. Aku terduduk lesu, menatap langit yang masih saja kelabu. Menyisakan semburat-semburat kuning dan biru di ujung cakrawala. Gerimis pun mulai ikut meramaikan suasana. Guntur pun tak mau kalah untuk ikut ambil bagian. Kilatan-kilatan petir pun mulai sering bermunculan. Langit sudah hendak memulai pesta poranya. Menertawakanku dan menghakimiku dengan pongahnya. Aku hanya terduduk lesu tanpa mampu membantah bak penjahat yang telah terkuak seluruh catatan kejahatannya.

Senja, dimakanah dirimu?

Aku merintih dalam deburan hujan yang seolah menghakimi perbuatanku. Mereka benar. Aku berteriak sekencang-kencangnya, berusaha mengalahkan suara deburan ombak yang mengamuk dihadapanku. Aku tahu aku bersalah. Yaa. Ini semua salahku. Aku berteriak lebih kencang. Seolah pita suaraku benar-benar besar dan mampu mengalahkan gaduhnya pesta pora mereka.

Mereka seolah meresponku. Merespon segala rasa yang tengah berkecamuk dalam batinku. Hujan semakin menggila, guntur dan petir berlomba-lomba bersahutan, langit terlihat pongah dan membahana, ditambah ombak dan angin semakin mengamuk dan menghantam apa saja yang ada di hadapan mereka. Benar-benar serasi dengan badai dan topan yang tengah menggulung hatiku.

Aku bukan bermaksud menyerah. Aku bukan tak berusaha. Aku telah mencarinya. Seminggu ini benar-benar mencarinya kemana-mana. Dimanapun yang aku tahu. Kesemua tempat yang kutahu pernah dikunjunginya. Semuanya. Meski aku bahkan tak pernah tahu ada dimana. Meski aku harusa tertatih-tatih mencari kesana kemari. Bahkan sampai-sampai langit tak tersentuh semburat jingga selama seminggu ini. Semua karena aku tengah mencari senja. Yaa, senja yang menghilang sejak malam menyapa kami di bibir pantai kala itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline