Lihat ke Halaman Asli

Balada Pajeko Tua di Selat Lembeh

Diperbarui: 11 Mei 2016   06:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Kompas.com/Ronny Adolof Buol

Sumoal menatap langit dengan seulas senyum menyungging di bibirnya. Di langit nampak cerah, walaupun saat itu senja tak lama lagi menuju peraduan malam. Mambang kuning di ufuk barat mulai menempias di atas cakrawala, dan wajah punggung bukit yang mulai redup dalam temaram. Sebab biasanya, Sumoal akan sedikit melisut wajahnya ketika langit menampakan bilur- bilur kehitaman di angkasa sebuah pertanda parade para topan dan badai yang sedang mempersiapkan pesta tawuran mereka, kelak pada malam hari.

Sebab malam nanti, Sumoal bersama dengan sepuluh orang masanae*,sudah termasuk Gompa anak lelakinya semata wayang yang akan pergi melaut. Sudah menjadi pekerjaan sehari – hari buat Sumoal bersama dengan masanaenya. Hanya itulah keahlian mereka, yakni sebagai nelayan kecil. Sumoal bertindak selaku pemilik perahu pajeko**, sekaligus juga sebagai Tonaas*** pajeko.

Pajeko milik Sumual merupakan warisan satu – satunya dari orang tuanya. Bapak dan Ibunya sudah lama meninggal. Sebab tak ada harta lain yang dimiliki orang tua Sumoal selain perahu pajeko tersebut. Sungguh miris memang. Sebetulnya, untuk orang yang pada umumnya bila mempunyai usaha pajeko, maka tentunya akan dipandang sebagai orang yang kaya. Sebab Dia mampu membuat atau membeli sebuah perahu sekaligus johnson atau motor temple dua buah sebagai alat untuk menjalankan atau menggerakan perahu di atas laut, sekaligus juga dengan sebuah pukat untuk menangkap ikan. 

Walaupun hanya seukuran duaekor tarikan tenaga kuda atau 25pk, namun itu merupakan ukuran orang yang memiliki uang. Dan orang yang demikian jika tinggal dan hidup bersosialisasi di kampung kecil, dia akan di pandang sebagai orang yang terhormat. Karena orang yang mempunyai atau memiliki perahu pajeko sudah pasti adalah orang yang berduit.

Tapi tidak untuk Sumoal. Sekolah Dasar pun hanya sampai pada kelas III. Oleh karena, sejak kecil Sumoal mengikuti ajakan bapaknya melaut.Sehingga timbul rasa jenuh dan bosan untuk menerima pelajaran di sekolahnya. Dan akhirnya Sumoal hanya tamat pada kelas III SD.

Sosok Sumoal tak jauh beda dengan peribahasa: bagai kecebong di bawah tempurung.

“Bapak, aku ikut melaut!”

“Ayo, persiapkan pakaian ganti karena di laut gelombangnya sangat ganas!” kata Bapaknya.

Esoknya lagi, bapak Sumoal bertanya.

“Moaal,,, melaut ga kamu!”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline