Intan terkejut setengah mati dengan kedatangan Paman Hendra di rumah. Paman Hendra hendak meminta sebagian tanah yang ditempati Intan untuk tempat tinggal.
"Suka tidak suka! Mau tidak mau! Besok, saya patok tanah ini! " bentak Paman Hendra. Tercium bau aroma minuman keras dari mulutnya.
"Tunggu dulu, Paman. Saya beritahu Mbak Irma di kota. Dia anak tertua. Lagipula, kenapa Paman Hendra tidak bicarakan hal ini saat almarhum bapak masih hidup, " kata Intan sambil berusaha bersikap tenang.
"Alah ... anak kecil. Kamu tau apa! Ini tanah bapak saya. Tanah kakek kamu. Kamu tidak ada hak! bentak Paman Hendra.
"Paman ... kata almarhum bapak, tanah ini warisannya dari kakek. Dan sertifikat tanah ini atas nama bapak, " jelas Intan dengan suara gemetar.
"Persetan dengan sertifikat. Setelah bapak kamu atau kakak saya mati, tanah ini otomatis milik saya. Paham! " ketus Paman Hendra.
Intan merasa harga diri keluarganya diinjak-injak oleh paman kandungnya. Apa yang ia jelaskan dianggap angin lalu.
Intan pun berdiri meninggalkan Paman Hendra menuju dapur. Dia mengambil sebilah golok dan mengacungkan ke arah Paman Hendra.
"Keluar! " teriak Intan sambil mengancam dengan senjata tajam itu.
"Keluar! " teriak Intan lagi.
"Baik ... saya keluar. Tapi ingat satu hal, saya punya surat wasiat dari kakek kamu kalau tanah ini bagianku, " kata Paman Hendra. Dia pun pergi dari rumah Intan.